TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Kelompok Komisi IX DPR Nur Nadlifah mempertanyakan syarat tes Polymerase Chain Reaction (PCR) yang tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53/2021 tentang PPKM Level 3, 2, dan 1 di Jawa dan Bali.
Menurut dia, kebijakan yang diambil Mendagri terkait aturan tersebut sangat memberatkan masyarakat dan nampak memihak pelaku bisnis tes PCR.
"Percuma masyarakat diajak menyukseskan vaksinasi, tapi kenyataan di lapangan masih dibebankan dengan tes PCR. Seharusnya masyarakat tidak dibebankan dengan hal-hal yang semestinya tidak perlu dilakukan," kata Nadlifah dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis, 21 Oktober 2021.
Dia mempertanyakan syarat PCR tersebut, karena pada Inmendagri 47/2021, persyaratan calon penumpang pesawat hanya berupa tes antigen (H-1) dengan syarat sudah memperoleh vaksinasi dosis kedua, dan hasil negatif PCR (H-2) jika baru memperoleh vaksin dosis pertama.
Menurut dia, Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang tidak bertolak belakang dan menimbulkan spekulasi di tengah publik mengenai konspirasi Covid-19.
"Kita selama ini berjuang mati-matian mengajak masyarakat untuk mau divaksin sehingga herd immunity tercapai, namun muncul kebijakan penumpang pesawat wajib PCR. Publik jadi berpikir, 'oh vaksin itu proyek bisnis kesehatan, percuma vaksin wong masih wajib tes PCR'," ujarnya pula.
Menurut dia, kebijakan tersebut bertolak belakang dari keinginan pemerintah sendiri yang sedang bekerja keras melakukan percepatan pemulihan ekonomi. Dia menilai, seharusnya masyarakat yang ingin melakukan perjalanan dan sudah menerima vaksin dosis kedua, cukup menggunakan rapid tes antigen.
"Meski saat ini sudah ada batas tertinggi harga tes PCR, bagi kebanyakan masyarakat masih tergolong mahal. Itu karena biaya tes PCR, bisa 50 persen dari harga tiket pesawat," ujarnya lagi.