TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Dakwah dan Masjid Abdul Manan Gani menilai perlu ada kesepakatan antara pengurus masjid dan Kementerian Agama untuk menerapkan sentralisasi azan di daerah yang sewaktu.
“Saya juga pengurus PP DMI (Dewan Masjid Indonesia) belum selesai pembicaraannya termasuk dengan Kementerian Agama,” kata Abdul kepada Tempo, Kamis, 21 Oktober 2021.
Abdul mengatakan, rencana tersebut baru dibahas dalam satu kali pertemuan dengan perwakilan Kemenag dan akan disemilokakan. Namun, karena ada kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), acara tersebut dibatalkan.
Menurut Abdul, sentralisasi azan dapat diterapkan di kota-kota besar seperti Jakarta. Namun, harus ada sosialisasi di masjid-masjid. Sebab, masjid di Indonesia sangat mandiri. Lain halnya dengan masjid di luar negeri yang dibangun pemerintah, masjid di Indonesia kebanyakan dibangun warga setempat dan dbiayai dengan amal para jemaahnya.
Abdul menuturkan, kelebihan dari kebijakan ini adalah suara azan yang seragam akan terdengar lebih bagus dan indah. “Minusnya salawatan, puji-pujian yang semula dikumandangkan di masjid-masjid menjelang azan akan hilang,” ujarnya.
Baca Juga:
Dewan Masjid Indonesia (DMI) tengah mematangkan kemungkinan menerapkan sentralisasi azan di daerah yang se-waktu, terutama di kota-kota besar. Hal ini tak terlepas dari penggunaan toa di masjid yang belakangan mendapat sorotan.
Nantinya, pemerintah provinsi akan memasang transistor di masjid-masjid yang ada untuk memancarkan azan di pusat tersebut. Sedangkan untuk iqamat, kemungkinan akan tetap dilakukan di masing-masing masjid dan cukup suara dalam masjid.