TEMPO.CO, Jakarta - Laporan dan aduan mengenai perilaku anggota kepolisian yang berlawanan dengan hukum menghiasi media massa akhir-akhir ini. Pemberitaan yang seakan tidak ada habisnya tersebut kemudian membuat tagar #PercumaLaporPolisi menjadi viral di media sosial. Di antara banyaknya pemberitaan yang beredar, sebagian besar menggunakan kata oknum untuk menyebut terduga anggota polisi yang melakukan tindakan melawan hukum.
Penggunaan kata oknum tersebut menuai reaksi dari warganet. Beberapa berpendapat bahwa oknum merupakan pilihan yang kurang tepat untuk digunakan, mengingat laporan dari institusi yang sama terus-menerus terjadi. “Oknum lagi kah ini? Kalau Institusi isinya oknum semua mau jadi apa negara ini?” cuit akun Twitter @keyz99_ pada 20 Oktober 2021.
Apabila merujuk pada KBBI, oknum memiliki tiga makna. Pertama, penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik; pribadi. Kedua, orang; perseorangan. Ketiga, orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik). Dalam konteks pemberitaan media, sebagaimana dilansir dari Majalah Tempo, kata oknum biasanya digunakan untuk memisahkan anggota suatu institusi atau kelompok tertentu dari institusi atau kelompoknya. Biasanya, pemisahan tersebut dilakukan ketika anggota suatu institusi atau kelompok tersebut melakukan suatu hal yang tercela.
Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam artikelnya di Majalah Tempo edisi 19 Mei 2014 berjudul Oknum dalam Politik Bahasa, istilah oknum sering digunakan oleh media massa pada Era Orde Baru untuk membiaskan masalah yang sifatnya struktural menjadi masalah individual. Tujuan dari pembiasan tersebut tidak lain bertujuan untuk melindungi nama baik institusi kenegaraan yang anggotanya melakukan perbuatan tercela.
Hal tersebut dibuktikan dengan jarangnya penggunaan istilah oknum untuk anggota organisasi atau institusi non-negara. Menurut Seno, jarang sekali ada istilah oknum petani, oknum nelayan, atau oknum buruh. Istilah yang paling sering keluar adalah oknum polisi, oknum TNI, dan oknum-oknum lain yang diikuti oleh nama instansi pemerintahan.
Penggunaan kata oknum ini, kata Seno, tidak terlepas dari politik kebahasaan pada Era Orde Baru. Menurut Ekarini Saraswati dalam buku Rekayasa Bahasa Politik Orde Lama dan Orde Baru, setiap elite politik yang berkuasa pada umumnya menyusun sebuah kamus bahasa yang disesuaikan dengan ideologi dan kepentingannya, yang kemudian disebut sebagai politik bahasa. Pada era Orde Baru, politik bahasa yang kentara adalah eufemisme adalah penghalusan kata-kata tabu.
Kata oknum merupakan salah satu bentuk penghalusan kata tersebut. Menurut Seno, implikasi dari politik kebahasaan pada era Orde Baru tersebut adalah penggunaan kata oknum oleh media massa ketika melaporkan pejabat negara yang melakukan tindakan tercela, seperti korupsi atau tindak kekerasan. Sebagai akibatnya, nama baik institusi pemerintahan pun tetap terjaga. Di balik nama baik yang terjaga, masalah struktural institusi tersebut tidak pernah mendapat solusi karena publik diarahkan untuk memahaminya sebagai masalah individual.
BANGKIT ADHI WIGUNA
Baca juga: Oknum Polisi Merampok Duit Ratusan Juta