TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pengamat politik menilai politik akomodasi makin kental dalam dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, mengatakan hal ini terlihat dari tindakan Jokowi merangkul partai politik yang berseberangan dengan dirinya masuk ke dalam pemerintahan.
"Mirip dengan periode pertama, tapi kesan politik akomodasi semakin kuat di periode kedua," kata Adi kepada Tempo, Selasa, 19 Oktober 2021.
Yang teranyar, Jokowi mengajak Partai Amanat Nasional bergabung ke koalisi pemerintah. Kendati ditengarai sudah berkomunikasi sejak awal tahun ini, PAN baru resmi mengumumkan bergabung ke pemerintahan pada Agustus lalu setelah menghadiri pertemuan Jokowi dengan para ketua umum partai koalisinya.
Sebelumnya, ketika baru dilantik untuk periode kedua pada 2019 lalu, Jokowi merangkul Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ke kabinet. Jokowi mendapuk lawannya di dua kali pemilihan presiden itu sebagai Menteri Pertahanan.
Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, mengatakan Jokowi berhasil mengontrol partai-partai politik. Pangi mengatakan soliditas dukungan partai ini sukses menciptakan stabilitas politik bagi Jokowi untuk menjalankan program pemerintahannya.
Baca Juga:
"Jokowi sangat kuat mengontrol partai politik, terbukti dari soliditas dukungan koalisi," kata Pangi kepada Tempo pada Senin, 18 Oktober 2021.
Menurut Adi Prayitno, Jokowi menggandeng partai-partai yang berseberangan dengan dirinya demi memuluskan agenda pemerintah di parlemen. Dia menduga mantan Gubernur DKI Jakarta itu khawatir kebijakannya di periode kedua bakal banyak ditolak jika oposisi di parlemen cukup kuat.
"Dengan dalih NKRI, persatuan, politik gotong royong, padahal secara prinsip Jokowi tidak mau di periode ini banyak interupsi dan protes yang dilakukan oposisi yang jumlahnya cukup signifikan," ucap Adi.
Alhasil, partai nonpemerintah di parlemen kini tersisa Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. Total jumlah kursi keduanya hanya 104 atau 18,09 persen dari 575 kursi di parlemen. Sedangkan koalisi Jokowi menguasai hampir 82 persen.
Dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun mengatakan konsolidasi koalisi pemerintah yang makin bertambah kuat bisa jadi menunjukkan situasi berbahaya atau ketakutan rezim saat ini. Di sisi lain, ia menilai konsolidasi itu bisa jadi bersifat semu karena semakin meluasnya ketidakpercayaan publik, bahkan dunia internasional.
"Dampaknya demokrasi di Indonesia semakin tidak berkualitas dan makin berbahaya karena makin bertambahnya pendukung rusaknya demokrasi," ujar Ubedilah pada Agustus lalu, menanggapi bergabungnya PAN ke koalisi pemerintah.