TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan amandemen UUD 1945 tidak lahir dari ruang kosong atau dari gagasan elite politik. Menurut dia, amandemen hanya bisa dilakukan jika ada constitutional moment atau momen konstitusional.
Momen konstitusional diartikan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan perubahan mendasar dalam bernegara itu harus dilakukan. Dalam sejarah amandemen konstitusi di Indonesia, Bivitri mengatakan, hal tersebut selalu menjadi dasar dilakukannya amandemen.
"Benang merahnya itu harus ada momentum konstitusional, Tak bisa hanya sekadar angan-angan elite politik," kata Bivitri dalam diskusi survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tentang respons publik mengenai wacana Amandemen UUD 1945, Jumat, 15 Oktober 2021.
Bivitri mencontohkan amandemen UUD Republik Indonesia Serikat pada 1949 dilakukan karena adanya adanya kesepakatan diplomasi Indonesia dengan Belanda lewat Konferensi Meja Bundar. Lalu ada juga amandemen UUD sementara 1950 yang mengembalikan Indonesia dari negara federal menjadi NKRI. Saat itu, banyaknya pemberontakan selama masa RIS menjadi momen konstitusinya.
Amandemen terakhir pada 1999-2002, juga terjadi karena adanya gerakan Reformasi 1998 yang menjadi titik momen konstitusi. Bivitri menegaskan momen konstitusi ini harus ada. Karena dari sejumlah studi di beberapa negara yang melakukan amandemen tanpa adanya momen konstitusi, menunjukkan adanya kecenderungan amandemen dilakukan untuk kepentingan elite saja.
"Karena tak ada momentum, tiba-tiba dibuat. Ada pelanggaran constitutional values yang akan dibuat oleh kelompok yang sedang memegang kekuasaan. Supaya tak melanggar aturan maka konstitusinya diubah," kata Bivitri.
Saat ini, Bivitri menilai Indonesia belum memiliki momen konstitusional yang kuat untuk melakukan amandemen. Pandemi Covid-19 ataupun kemunduran ekonomi bukan merupakan bagian dari momen konstitusi.
Ia menilai upaya mengatasi masalah pandemi Covid-19 dan ekonomi harus dengan pembenahan di tingkat kebijakan. "Bisa peraturan perundang-undangan atau tata kelembagaan. Kita harus bedakan dengan baik antara kesalahan di level kebijakan dan di level aturan dasar bernegara," kata Bivitri ihwal wacana amandemen UUD 1945 yang kerap bergulir.
Baca juga: Survei SMRC: Publik Nilai Tak Ada Urgensi Amandemen UUD 1945