TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Kepolisian RI, Hoegeng Iman Santoso, dikenal sebagai sosok yang berintegritas. Tidak hanya itu, ia memiliki kesetiaan yang tinggi pada Indonesia.
Kisah kesetiaan Hoegeng tercermin saat ia menolak tawaran bergabung dengan pemerintahan sipil Belanda (Netherland Indies Civil Administration/NICA) pada Juli 1947. Hal ini bermula saat Hoegeng mendapat tugas dari Kepala Umum Besar Kantor Polisi Semarang, Raden Soekarno Djojonegoro untuk mencari informasi di Pekalongan. Di saat bersamaan pemerintah Indonesia mengumumkan pasukan Belanda akan masuk ke Pekalongan.
Mengutip Majalah Tempo Edisi 14 Agustus 2021, keluarga Hoegeng saat itu harus mengungsi ke penampungan anak yatim-piatu, Balai Cintraka Mulya, tanpa membawa harta benda. Menurut cerita anak kedua Hoegeng, Aditya Sutanto Hoegeng, saat itu mereka hidup sangat susah bahkan ayahnya tidak memiliki celana dalam. “Mamimu membuatkan cawat untuk saya dari kelambu,” ujar Aditya menirukan ayahnya pada Majalah Tempo, Kamis 5 Agustus 20211.
Tak hanya berdiam, di pengungsian Hoegeng menggali informasi dari penghuni dan pedagang di sana mengenai keadaan di Pekalongan dan sekitarnya. Dari keterangan pegiat sejarah Kota Pekalongan, Mochamad Dirhamsyah, Hoegeng saat itu pernah ditangkap dan ditahan. Namun anehnya, saat ditahan oleh Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) selama tiga pekan, Hoegeng mendapat kamar di kantor polisi NICA bukan di sel tahanan.
Saat ditahan, Hoegeng bertemu kawannya saat sekolah di Sekolah Tinggi Hukum Batavia, De Bretionniere, yang menjabat sebagai pimpinan polisi NICA. De Bretionniere menawari Hoegeng untuk bergabung dengan NICA. Seperti yang disebut dalam buku Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa, dengan yakin ia menjawab bahwa dia putra Indonesia. “Mustahil bagi saya bersikap lain,” tutur Hoegeng dengan pendiriannya.
TATA FERLIANA
Baca juga: