TEMPO.CO, JAKARTA - Sejumlah lembaga pemerhati antikorupsi menilai putusan Mahkamah Konstitusi tidak bisa dijadikan alasan untuk memberikan remisi kepada koruptor. Lembaga yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch, Pusat Kajian Antikorupsi UGM dan Pusat Kajian Konstitusi Universitas Andalas menyatakan ada 7 alasan bahwa remisi untuk pelaku korupsi harus dibatasi.
“Secara umum, putusan MK Nomor 41/PUU-XIX/2021 sama sekali tidak menghapuskan pembatasan remisi bagi narapidana korupsi,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Rabu, 6 Oktober 2021.
Alasan pertama, UUD 1945 membolehkan pembatasan hak. Kedua, MK menolak seluruh permohonan yang diajukan narapidana korupsi OC Kaligis tersebut. Dia mengatakan MK hanya memberikan pertimbangan tentang model pengaturan mengenai pemberian remisi. Ketiga, MK juga tidak membatalkan atau memberi penafsiran terhadap Undang-Undang Pemasyarakatan.
Kurnia mengatakan mahkamah bukan memberikan remisi untuk narapidana korupsi, melainkan menginginkan adanya model baru pemberian remisi. Kelima, putusan MK dinilai tidak tegas. Menurut dia, MK tidak membatalkan peraturan yang ada tentang remisi. Mestinya, tak perlu komentar-komentar di luar substansi permohonan dengan berbagai alasan.
Ketiga lembaga tersebut juga menilai MK dalam putusannya keliru melihat persoalan terkini. MK menyebutkan persyaratan pemberian remisi bagi terpidana kejahatan khusus akan berdampak pada situasi overkapasitas lembaga pemasyarakatn. Padahal, data per Maret 2020, jumlah terpidana korupsi hanya 1.906 orang atau 0,7 persen dari total penghuni penjara yaitu 270.445 orang.
Terakhir, ketiga lembaga itu menilai putusan MK tak bisa dijadikan alasan mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang memuat pembatasan pemberian remisi untuk narapidana korupsi.
“Ada sejumlah pihak yang beranggapan putusan itu telah membuka kesempatan lebar bagi terpidana korupsi untuk mendapatkan pengurangan hukuman atau remisi secara tanpa syarat, kami perlu meluruskan,” ujar Kurnia.