Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kolonel Latief Ungkap Kegalauan 60.000 Pasukan Batal Ikut Operasi G30S

Reporter

image-gnews
Suasana diorama peristiwa G30S/PKI di kawasan Monumen Kesaktian Pancasila, Jakarta, Selasa, 29 September 2020. Diorama tersebut dibuat untuk peringatan Hari Kesaktian Pnlancasila dan mengenang korban dalam peristiwa G30S/PKI khususnya tujuh pahlawan revolusi pada 1 Oktober mendatang. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Suasana diorama peristiwa G30S/PKI di kawasan Monumen Kesaktian Pancasila, Jakarta, Selasa, 29 September 2020. Diorama tersebut dibuat untuk peringatan Hari Kesaktian Pnlancasila dan mengenang korban dalam peristiwa G30S/PKI khususnya tujuh pahlawan revolusi pada 1 Oktober mendatang. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta Kesimpangsiuran Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S masih berlangsung hingga saat ini. Berbagai cerita dan analisis simpang siur yang menyertai peristiwa tersebut menyebabkan berbagai simpang siur terkait dengan dalang di balik peristiwa tersebut.

Beberapa pemimpin militer yang terlibat dalam peristiwa tersebut, antara lain Kolonel Untung Syamsuri, Kolonel Abdul Latief, Brigjen Soepardjo, dan Mayor Udara Suyono.

Sebagian besar pemimpin militer tersebut diberi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa setelah G30S meletus. Namun, nasib yang berbeda diterima oleh Kolonel Abdul Latief. Ia mendapat hukuman penjara seumur hidup dari Mahkamah Militer Luar Biasa. Latief bahkan bisa menghirup udara bebas setelah rezim Orde Baru tumbang.

Kolonel Latief yang kala itu menjabat Komandan Brigade Infanteri atau Brigif I Kodam V Jakarta Raya atau Kodam V Jaya memiliki beberapa kontribusi terhadap pelaksanaan G30S.

Dalam buku Gerakan 30 September di Hadapan Mahmilub: Perkara Untung (1966), rumah Latief tercatat digunakan sebanyak tiga kali untuk rapat persiapan G30S.

Dalam rapat-rapat yang telah dilaksanakan, sejumlah anggota angkatan bersenjata telah dipersiapkan untuk terjun dalam G30S. Pada rapat terakhir, Latief sempat dilanda kegelisahan.

Sebagaimana dicatat oleh Victor M. Fic dalam buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi (2005), Latief gelisah karena ketidakhadiran 60.000 angkatan bersenjata dalam rapat tersebut. Ia khawatir 60.000 pasukan tersebut akan menyerang G30S ketika sedang beraksi. Sebab, bagaimanapun juga, militer merupakan musuh dari PKI pada waktu itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lebih lanjut, Latief juga mengetahui bahwa 60.000 pasukan tersebut berada di bawah kontrol Mayor Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Selain itu, Latief juga sempat mendatangi Soeharto dua hari sebelum G30S meletus.

Latief, sebagaimana ia tulis dalam Pledoi Kolonel Abdul Latief: Soeharto Terlibat G30S (2000), cukup terkejut ketika Soeharto mengatakan bahwa ia sudah mengetahui isu tentang Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Soekarno.

Latief juga pernah bertemu dengan Soeharto pada 30 September 1965. Kala itu, ia berniat untuk menjenguk Tommy Soeharto yang tengah dirawat karena ketumpahan sup panas. Selain itu, Latief juga memberi kabar kepada Soeharto terkait dengan acara untuk membawa Dewan Revolusi ke hadapan Presiden Soekarno.

Dikutip dari Buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa, Soeharto bersikap sangat tenang ketika mendengar hal tersebut. Ia hanya menganggukkan kepala sejenak. Sekali lagi, sifat tenang tersebut mengejutkan Kolonel Latief.

BANGKIT ADHI WIGUNA

Baca juga: Siapa Petinggi PKI di Balik Operasi G30S yang Menculik Jenderal TNI AD?

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Ramai Open House Jokowi di Istana Negara, Ini Sejarah Open House di Kalangan Pejabat Negara

8 hari lalu

Suasana antrean warga di depan Istana Negara, Jakarta, Rabu, 10 April 2024. Antrean warga untuk menghadiri acara open house Idul Fitri sempat ricuh lantaran sejumlah warga memaksa masuk ke dalam Istana Negara. TEMPO/Yohanes Maharso
Ramai Open House Jokowi di Istana Negara, Ini Sejarah Open House di Kalangan Pejabat Negara

Tradisi open house di kalangan pejabat Indonesia makin menguat sejak Orde Baru era kepemimpinan Soeharto.


Pasang Surut Hubungan Indonesia-Cina dalam Rentang 74 Tahun

17 hari lalu

Bendera Cina dan Indonesia. Shutterstock
Pasang Surut Hubungan Indonesia-Cina dalam Rentang 74 Tahun

Prabowo Subianto, memilih Cina sebagai negara pertama yang dikunjunginya, menandai pentingnya hubungan Indonesia-Cina.


Ledakan Gudang Peluru Cibubur Ingatkan Peristiwa Ledakan Gudang Amunisi KKO Cilandak 40 Tahun Lalu

18 hari lalu

Tangkapan layar detik-detik terjadi ledakan dahsyat pada insiden kebakaran yang melanda Gudang Amunisi Artileri Medan (Armed) TNI di Kampung Parung Linang, Desa Ciangsana, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (30/3/2024) petang. FOTO/video Istimewa
Ledakan Gudang Peluru Cibubur Ingatkan Peristiwa Ledakan Gudang Amunisi KKO Cilandak 40 Tahun Lalu

Ledakan gudang peluru cibubur mengingatkan peristiwa 40 tahun lalu ledakan gudang peluru Korps Marinir Angkatan Laut, Cilandak KKO, Jakarta Selatan.


Kisah Darah dan Doa, Film Longmarch of Siliwangi yang Jadi Hari Film Nasional

19 hari lalu

Film Darah dan Doa karya Usmar Ismail. wikipedia
Kisah Darah dan Doa, Film Longmarch of Siliwangi yang Jadi Hari Film Nasional

Pengambilan gambar film Darah dan Doa dijadikan peringatan Hari Film Nasional setiap 30 Maret


Rangkaian Momen Sebelum Soeharto Naik Menjadi Presiden Gantikan Sukarno 56 Tahun Lalu

22 hari lalu

Letjen Soeharto (kiri), Soekarno, Sultang Hamengku Buwono IX, dan Adam Malik pada rapat Kabinet Ampera1, 25 Juli 1966. Dok. Rusdi Husein
Rangkaian Momen Sebelum Soeharto Naik Menjadi Presiden Gantikan Sukarno 56 Tahun Lalu

Naiknya Soeharto sebagai presiden menggantikan Sukarno berawal dari kemelut politik yang rumit pasca peristiwa G30S


Hari Ini 56 Tahun Lalu, Pelantikan Soeharto sebagai Presiden Gantikan Sukarno, Sukmawati Sebut Kudeta Merangkak

23 hari lalu

Sukarno dan Soeharto
Hari Ini 56 Tahun Lalu, Pelantikan Soeharto sebagai Presiden Gantikan Sukarno, Sukmawati Sebut Kudeta Merangkak

Kudera merangkak disebut sebagai kudeta yang dilakukan Soeharto kepada Sukarno, apa itu?


Mantan Menteri Penerangan Era Soeharto, Alwi Dahlan Meninggal

29 hari lalu

Menteri penerangan/ menpen Alwi Dahlan [Moedijanto; 2000/05/15]
Mantan Menteri Penerangan Era Soeharto, Alwi Dahlan Meninggal

Mantan Menteri Penerangan Alwi Dahlan meninggal pada hari ini pukul 08.15 WIB. Jenazah rencananya akan dimakamkan di San Diego, Karawang.


Ingat THR Harusnya Ingat Soekiman Wirjosandjojo, Penggagas Tunjangan Hari Raya Pertama

31 hari lalu

Soekiman Wirjosandjojo, Perdana Menteri Indonesia ke-6. Wikipedia
Ingat THR Harusnya Ingat Soekiman Wirjosandjojo, Penggagas Tunjangan Hari Raya Pertama

Pencetus THR adalah Soekiman Wirjosandjojo, Perdana Menteri Indonesia dari Partai Masyumi. Siapa dia? Bagaimana kiprahnya?


Pintu Masuk Prajurit TNI - Polri Duduki Jabatan Sipil, Ingat Kembali Strategi Dwifungsi ABRI Orde Baru

32 hari lalu

Apel Gelar Pasukan Skala Besar Pengamanan Pemilu di Lapangan Benteng Medan, Kamis 11 April 2019. Tempo/Sahat Simatupang
Pintu Masuk Prajurit TNI - Polri Duduki Jabatan Sipil, Ingat Kembali Strategi Dwifungsi ABRI Orde Baru

Dwifungsi ABRI merupakan jabatan ganda prajurit TNI dan Polri sehingga mendapatkan jabatan sipil, hal itu muncul pada zaman Orde Baru. Muncul lagi?


58 Tahun Lalu Sidang MPRS Putuskan Soeharto Jadi Pejabat Presiden, Dimulainya Orde Baru

36 hari lalu

Sukarno dan Soeharto
58 Tahun Lalu Sidang MPRS Putuskan Soeharto Jadi Pejabat Presiden, Dimulainya Orde Baru

Pada 12 Maret 1966, MPRS menunjuk Soeharto sebagai Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967. Ini menandai berakhirnya kekuasaan Sukarno, berganti Orde Baru