TEMPO.CO, Jakarta - Dokumen Pandora Papers memuat nama pebisnis nasional yang mendirikan perusahaan cangkang di negara suaka pajak. Salah satunya Edward Seky Soeryadjaya. Ia tercatat menjadi pemilik Ortus Holdings Limited yang berkantor di British Virgin Islands.
Fransiska Kumalawati Susilo, istri Edward Soeryadjaya yang dinikahi di Amerika Serikat, mengatakan Ortus didirikan sekitar 2010. Ada beberapa perusahaan lain yang juga dibuat anak pendiri Astra Group, William Soeryadjaya, itu di sejumlah negara suaka pajak.
"Tujuan utamanya adalah menghindari pembayaran pajak," ujar Fransiska, dikutip dari Majalah Tempo edisi 4 Oktober 2021.
Menurut Fransiska, ongkos pendirian perusahaan cangkang tak mahal. Ia pernah mengurus pembuatan perusahaan dari Singapura dengan modal Sin$ 3.000 atau sekitar Rp 30 juta.
Setelah perusahaan berdiri, pemilik hanya membayar biaya tahunan sekitar US$ 100 kepada agen jasa finansial. Di negara suaka pajak, perusahaan cuma memiliki semacam kotak pos untuk menerima surat.
Edward awalnya mendirikan Ortus untuk menggarap proyek eksplorasi migas. Salah satunya Blok Lemang di Sumatera Selatan. Perusahaan itu juga terlibat dalam proyek Jakarta Monorail yang sekarang masih mangkrak. "Tak ada bisnis Ortus yang berhasil dengan baik," kata Fransiska.
Melalui bendera PT Sugih Energy Tbk, yang sahamnya juga dimiliki Ortus, Edward merambah pasar saham. Dalam bisnis inilah Edward tersandung perkara. Ia kini mendekam di penjara setelah divonis 12 tahun 6 bulan bui dalam skandal korupsi pengelolaan duit dana pensiun Pertamina.
Pada 15 September lalu, Kejaksaan Agung menetapkan Edward sebagai tersangka kasus rasuah PT Asabri. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan kasus itu bermula dari rapat antara Edward dan pejabat Asabri pada 2012. Pertemuan itu membahas penjualan saham PT Sugih.
Dibantu Komisaris PT Millenium Danatama Sekuritas, Betty, harga saham PT Sugih melambung. Betty lantas menjual saham perusahaan Edward itu kepada Asabri.
Pengacara Edward dalam kasus korupsi dana pensiun Pertamina, Bambang Hartono, mengaku pernah mendengar kabar tentang perusahaan Edward yang berdiri di luar negeri, antara lain Ortus Holding.
"Tapi perusahaan itu tak pernah disebut dalam kasus dana pensiun Pertamina," ucap Bambang.
Selain Edward, nama keluarga Ciputra tercatat dalam Pandora Papers. Keluarga pengusaha properti itu terdaftar memiliki perusahaan di British Virgin Islands.
Nama perusahaannya adalah Louve Landing Investments Incorporated dan Great Oriental Holdings Limited. Dalam dokumen Pandora Papers, aktivitas bisnis Louve terlacak sejak 1998.
Selama 18 tahun perusahaan itu aktif beraktivitas bisnis, antara lain bertransaksi jual-beli saham dan membagikan dividen kepada pemegang saham. Kegiatan finansial Louve terakhir terpantau pada Juli 2016.
Melalui seorang pengacara perempuan yang berkantor di Jalan Pejompongan, Jakarta Pusat, perusahaan itu membuka rekening di salah satu bank swasta di Indonesia.
Adapun Great Oriental tercatat beroperasi sejak 1994. Perusahaan itu ditengarai aktif memperdagangkan sahamnya selama dua dekade. Salah satunya transaksi tertanggal 13 Juni 2002, saat korporasi itu melepas lebih dari 73 ribu lembar saham.
Dalam catatan yang dibaca Tempo, aksi korporasi itu diurus Harun Hajadi, kini Direktur Utama Ciputra Development.
Harun mengatakan tanggapan dari Ciputra Group akan dikirim oleh Sekretaris Perusahaan Tulus Santoso. Namun hingga Sabtu, 2 Oktober lalu, Tulus tak merespons surat wawancara Tempo yang dilayangkan ke nomor telepon pribadi dan alamat surat elektroniknya.
Ketika keluarga Ciputra disebut memiliki perusahaan cangkang dalam Panama Papers lima tahun lalu, Tulus membantahnya. "Saya kira tidak ada perusahaan itu," kata dia.
Dokumen Pandora Papers menguak aset rahasia, kesepakatan bisnis, dan kekayaan tersembunyi dari para pejabat dan miliarder, termasuk 30 pemimpin dunia. Dokumen itu juga menampilkan data wali kota, narapidana, megabintang sepak bola, hingga pesohor yang ditengarai mendirikan perusahaan cangkang di negeri bebas pajak.
Konsorsium Internasional Jurnalis Investigatif atau International Consortium Investigative Journalists (ICIJ) memperoleh bocoran data berukuran hampir 3 terabita itu dari sumber anonim. Bersama 600-an jurnalis dari 150 media di 117 negara, Tempo menjadi satu-satunya media di Indonesia yang terlibat proyek kolaborasi Pandora Papers.
Pendirian perusahaan di negara suaka pajak belum tentu mengindikasikan pelanggaran. Banyak pebisnis menggunakannya untuk urusan legal. Namun, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menerangkan, perusahaan cangkang dapat dipakai untuk menghindari pajak dalam bisnis yang sah.
"Terjadi praktik base erosion and profit shifting yang dapat mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak," kata Suryo, dikutip dari Majalah Tempo edisi 4 Oktober 2021.
Baca selengkapnya 'Garis Merah Dokumen Pandora' di Majalah Tempo edisi 4 Oktober 2021.
MAJALAH TEMPO