TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 58 pegawai KPK resmi tak lagi bertugas di lembaga pemberantasan korupsi tersebut pada 30 September 2021. Mereka tersingkir atau disingkirkan melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan atau TWK.
Peneliti PUKAT UGM atau Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan mengungkapkan tersingkirnya 58 pegawai tersebut akan memberi dampak besar bagi KPK.
“Kita tidak akan bisa melihat kiprah KPK sehebat dulu. Karena kondisi yang menimpa KPK hari ini adalah dampak dan implikasi dari dua hal yang sejak awal sudah banyak dikritisi oleh publik,” kata Yuris, Rabu, 29 September 2021 seperti dikutip Tempo dari laman UGM.
Perlu diketahui pada akhir September ini, sebanyak 57 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) saat ujian alih status pegawai menjadi ASN beberapa waktu lalu resmi diberhentikan. Belakangan jumlah tersebut bertambah jadi 58 orang.
Telah berbagai upaya untuk mereka kembali bekerja di KPK, namun belum ada hasilnya. Beberapa tawaran untuk bekerja di BUMN dan di POLRI masih belum dipertimbangkan, karena mereka masih ingin berjuang agar bisa bekerja untuk memberantas korupsi di lembaga anti rasuah tersebut.
Padahal, dengan dipecatnya 57 pegawai KPK tersebut berdampak pada kinerja KPK di masa mendatang.
Sejak awal pemecatan 57 pegawai KPK, Yuris menyebutkan, terdapat dua persoalan, pertama rekam jejak proses pemilihan pimpinan KPK cenderung bermasalah. Kedua, revisi UU KPK yang mendegradasi independensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.
“Kedepan, dengan atau tanpa 57 pegawai yang akan dipecat, masih sulit membayangkan KPK bisa segarang dulu dalam memberantas korupsi,” tegasnya.
Meski Ombudsman dan Komnas HAM sudah menyebut bahwa proses TWK diduga penuh maladministrasi dan pelanggaran HAM. Hal ini sangat wajar bagi masyarakat untuk Presiden sebagai pemimpin tertinggi eksekutif untuk memperbaiki kondisi ini. Mengingat Presiden yang melaksanakan perintah undang-undang sekaligus pimpinan tertinggi ASN.
“Justru saat Presiden tidak bersikap, publik dapat mempertanyakan peran Presiden dalam dua kewenangannya tersebut,” paparnya.
Yuris meyakini bahwa pemecatan 57 pegawai KPK bukanlah kesalahan dari mereka, akan tetapi memang merupakan upaya untuk menyingkirkan 57 pegawai dari lembaga KPK.
Sebelumnya, terdapat dua pimpinan KPK yang terbukti melanggar etik yang mengarah pada tindakan pidana. Melihat dari kasus tersebut, justru seharusnya pejabat KPK yang terlibat dalam kasus korupsi dan melakukan pelanggaran etik berat, seharusnya introspeksi diri, khususnya bagi pimpinan dan Dewan Pengawas.
“Mana mungkin KPK bisa menjadi lembaga pemberantasan korupsi yang efektif kalau di tingkat pimpinan saja tidak "zero tolerance" terhadap praktik koruptif,” jelas Yusri.
Yusri menilai, kinerja Dewan Pengawas (Dewas) bagaikan macan ompong, karena Dewas tidak berani mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran di internal KPK
Dibandingkan Dewas hari ini, justru sistem pengawasan internal KPK sebelum adanya Revisi UU KPK jauh lebih baik karena lebih tegas menghukum pihak internal KPK yang melakukan pelanggaran,” katanya.
Berdasarkan hasil survei Lembaga Indikator Politik Indonesia belum lama ini. kepercayaan publik terhadap KPK menurun, hal ini sesuai dengan kondisi KPK saat ini. Namun begitu, menurutnya tugas publik sebagaimana sejak dulu tetap kritis dan melakukan pengawasan dari luar.
“Mengkritik kondisi KPK hari ini bukan berarti membiarkan praktik korupsi berjalan di pemerintahan. Bagi publik, yang terpenting adalah negara bertindak nyata dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” ujarnya.
WILDA HASANAH
Baca juga: Lima yang Mengubah Wajah KPK Tak Lagi Seperti Dulu