TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan hukuman untuk koruptor bertujuan memberi efek jera dan demi rasa keadilan. Hal itu disampaikan untuk menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan semua narapidana, termasuk koruptor boleh mendapatkan remisi.
"Penegakkan hukum perkara korupsi sebagai extra ordinary crime bukan saja demi rasa keadilan, tapi juga harus bisa memberi efek jera kepada pelaku, menjadi pembelajaran bagi masyarakat agar mencegah perbuatan serupa terulang, serta bisa memberi manfaat bagi negara melalui pemulihan asetnya," kata pelaksana tugas juru bicara KPK Ali Fikri, Jumat, 1 Oktober 2021.
Ali mengatakan pemberantasan korupsi seharusnya dimaknai sebagai siklus yang menyeluruh. Mulai dari proses penyidikan, hingga hukuman pidana.
"Pemberantasan korupsi sepatutnya kita maknai sebagai siklus dari hulu ke hilir yang saling terintegrasi," kata dia.
Konsep tersebut, kata dia, selaras dengan Strategi Trisula Pemberantasan Korupsi, yaitu penindakan-pencegahan-pendidikan. Maka itu, kata dia, syarat keberhasilan pemberantasan korupsi tersebut adalah komitmen dan dukungan penuh seluruh pemangku kepentingan. Mulai dari pemerintah, pembuat kebijakan, lembaga peradilan, aparat penegak hukum, dan segenap elemen masyarakat.
Sebelumnya, MK dalam putusan uji materi menyatakan semua terpidana, termasuk napi korupsi dan narkoba berhak mendapatkan remisi seperti dalam UU pemasyarakatan. Sementara, larangan memberikan remisi untuk napi korupsi diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
Karena tidak memiliki kewenangan memeriksa PP, Mahkamah Konstitusi tidak mencabut aturan tersebut. Gugatan itu diajukan oleh OC Kaligis, terpidana kasus korupsi yang sedang mendekam di Lapas Sukamiskin.