TEMPO.CO, Jakarta - Politikus senior PDI Perjuangan, Sabam Sirait, meninggal pukul 22.37 WIB, Rabu, 29 September 2021. Sabam mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang.
"Telah berpulang ke rumah Bapa di surga Bapak Sabam Sirait," demikian bunyi keterangan menantu Sabam, Putra Nababan, yang diterima Tempo, Kamis, 30 September 2021.
Sabam terakhir tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi DKI Jakarta periode 2019-2024. Dia meninggal di usia 85 tahun.
Sabam meninggalkan empat anak, empat menantu, dan delapan cucu. Sabam lahir di Pulau Simardan, Tanjungbalai, Sumatera Utara pada 13 Oktober 1936.
Dalam wawancara di Majalah TEMPO edisi 14 Januari 2002, Sabam sempat menceritakan pengalamannya beberapa hari setelah Gerakan 30 September 1965 atau G30S. Pada 1965, Sabam merupakan Sekretaris Dewan Pengurus Pusat Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Berikut cerita Sabam beberapa hari setelah G30S:
Dengan dipapah teman, saya menaiki becak. Hari itu, pagi hari yang sunyi menggigit, 2 Oktober 1965, saya harusnya masuk rumah sakit karena dua kaki saya hampir diamputasi. Sejak tahun 1960-an saya menderita penyakit penyumbatan pembuluh darah balik di kedua kaki. Tapi saya memilih menghadiri undangan Mabes TNI, membicarakan upaya mengatasi keadaan akibat kudeta PKI.
Walaupun sudah tidak bisa jalan, saya harus pergi. Saya hadir sebagai Sekjen Parkindo, menggantikan ketua umum, Melanton Siagian, yang kebetulan sedang di Beijing. Saat itu ternyata hampir semua ketua umum partai ada di Beijing. Tak jelas benar kenapa hampir semua mereka ada di sana. Ketua Umum PNI Ali Sastrowidjojo, Ketum Parkindo Melanthon Siregar, NU, dan Partai Katolik. Mungkin menghadiri peringatan Hari Revolusi Cina yang jatuh tanggal 1 Oktober.
Becak berjalan ke Jalan Merdeka Selatan. Jalan menuju Mabes waktu itu sudah ditutup. Mobil sudah tak bisa masuk, apalagi becak. Namun saya tetap pergi. Setiba di sana, sebuah konsep sudah disiapkan. Isinya, memberikan kepemimpinan ke Angkatan Darat untuk mengatasi keadaan.
Tak banyak partai yang datang. Enam atau tujuh dari sepuluh partai yang ada. Ada Subhan dari Front Pancasila, ada wakil NU dan Partai Katolik. PNI diwakili Aruan Jongor. Saya tak tahu siapa konseptor gagasan tersebut. Mungkin sudah ada pembicaraan pendahuluan.
Saya setuju keadaan harus diatasi, tapi tidak dengan mempercayakan sepenuhnya ke Angkatan Darat. Partai politik, tentara, dan organisasi kemasyarakatan harus bahu-membahu mengatasi keadaan. Hampir semua wakil partai menyetujui konsep itu. Tapi saya dan seorang wakil dari PNI menolaknya.
Yang paling menentang pendapat saya Subhan, dari Front Pancasila. Akhirnya tidak dicapai kesepakatan. Pertemuan ditunda dan dilanjutkan sorenya di Sam Ratulangi, yang kemudian menjadi salah satu sekretariat gerakan anti-Gestapu.
Teman-teman dari partai lain tidak datang lagi. Padahal saya sudah setengah mati datang. Konsep tak berubah. Angkatan Darat memimpin penumpasan Gestapu. Dua tahun kemudian Subhan mengaku. Sambil memukul bahu saya, dia berkata, "Bang, kau betul. Seharusnya kita tidak menyerahkan ke ABRI untuk memimpin mengatasi keadaan waktu itu."
Saya sudah tidak mau berdebat lagi. Sikap saya di pertemuan Mabes itu bisa jadi juga tidak benar. Politik adalah momen, sehingga pernyataan itu mungkin cocok pada saat itu. Tapi saya merasa itu terbukti ke depan. Sejarah membuktikan. Itu menjadi awal peranan militer yang sangat besar di Indonesia.
Dalam buku saya, Sabam Sirait: Untuk Demokrasi Indonesia, disitir peran militer yang besar dalam pembangunan demokrasi Indonesia dan orang-orang yang kemudian meributkannya.
Baca juga: Politikus Senior PDIP Sabam Sirait Meninggal