TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Aan Kurnia mengatakan situasi di Laut Natuna Utara aman terkendali. Hal ini disampaikan Aan setelah sejumlah kapal perang Cina ditengarai berlayar di kawasan tersebut pada Senin pekan lalu, 13 September 2021.
"Saya tegaskan Laut Natuna Utara aman terkendali," kata Aan dalam Rapat Kerja dengan Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 20 September 2021.
Aan pun mempersilakan nelayan-nelayan di Natuna untuk kembali berlayar mencari ikan. Ia menyebut Bakamla siap menjaga dan mengamankan kawasan tersebut bersama sejumlah stakeholder lain. "Kami siap menjaga dan mengamankan, kami siap amankan mereka," ujar Aan.
Aan mengatakan, Indonesia menerapkan pendekatan politik luar negeri bebas aktif termasuk dalam menangani konflik di Laut Cina Selatan. Ia menyebut pendekatan itu ibarat gas dan rem dengan melihat perkembangan situasi.
Namun, Aan juga menilai penegak hukum tak boleh berkompromi terhadap kapal-kapal asing yang melanggar aturan memasuki perairan Indonesia, baik di ZEE maupun landas kontinen. "Kalau ada yang melanggar tetap harus kami tindak," katanya.
Dia membeberkan, konflik di Laut Cina Selatan akan berdampak langsung pada banyaknya kekuatan militer negara-negara besar di perairan tersebut. Ada pula dampak tak langsung seperti perlombaan senjata, risiko gangguan pelayaran, serta peningkatan biaya logistik dan keamanan.
Aan mengatakan pada dasarnya Bakamla menyusun strategi di Laut Cina Selatan yang berbatasan dengan perairan Natuna Utara. Menurut dia, strategi penjagaan kawasan itu tak bisa dilakukan Bakamla sendiri, tetapi mesti bekerja sama dengan instansi lain.
Aan pun menawarkan sejumlah konsep untuk mengatasi persoalan tersebut. Pertama, hadirnya penegak hukum di kawasan perairan tersebut, mulai dari Bakamla, TNI Angkatan Laut, hingga Satuan Tugas Pemberantasan Illegal Fishing Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kedua, ia mengatakan Indonesia mesti mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen. Aan menilai Indonesia tak bisa sekadar mengklaim, tapi tak melakukan aksi apa pun.
Aan mengatakan memang sudah ada nelayan yang mencari ikan di perairan Natuna Utara. Namun, mereka belum disiapkan secara profesional, sehingga sumber daya ikan di Natuna lebih banyak dimanfaatkan oleh negara-negara lain seperti Vietnam dan Cina.
"Secara de facto kita hanya melongo saja kalau boleh dibilang di sini, jadi tidak ngapa-ngapain tapi mengklaim ini wilayah kita. Ini punya kita tapi kita tidak bisa memanfaatkan," ujar Aan.
Strategi ketiga menurut Aan adalah melalui jalan diplomasi. Dia mengatakan ketiga strategi tersebut harus berjalan secara paralel. Jika tidak, Aan menilai persoalan yang sama akan terus berulang sementara Indonesia terus tergagap.
"Kalau hanya aparatnya saja ini tidak selesai. Paling kita hanya nangkap-ngusir, nangkap-ngusir terus," kata Aan. Ia mengimbuhkan, Bakamla akan mendorong Kementerian Pertahanan untuk menerapkan strategi tersebut.
Sebelumnya, sejumlah kapal perang asal Cina diduga berlayar di Laut Natuna Utara. Beberapa nelayan mengaku berpapasan dengan enam kapal perang tersebut pada Senin, 13 September 2021.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri, mengatakan anggotanya merekam video keberadaan kapal-kapal perang Cina itu ketika melaut pada pukul 09.00 pagi.
Salah satu kapal yang dapat diidentifikasi adalah destroyer Kunming-172. Para nelayan merekam peristiwa itu dari koordinat 6.17237 Lintang Utara dan 109.01578 Bujur Timur yang masuk Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.
"Anggota kami berada sekitar 1 mil dari kapal itu," kata dia ketika dihubungi, Sabtu, 18 September 2021.
Hendri mengatakan kedatangan kapal itu membuat nelayan khawatir. Terlebih dengan adanya eskalasi di kawasan perairan tersebut. "Kami cukup khawatir kalau terjadi apa-apa, kami mencari ikan hampir setiap hari di sana," kata dia.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | ROSSENO AJI