TEMPO.CO, Jakarta - Mural kembali menjadi konsep politik di masa pandemi yang membatasi gerak-gerik oarng. Mural sebagai media penyampai aspirasi politik, sebagai alternatif sikap politik, merebak lagi setelah mural mirip presiden Joko Widodo bertuliskan 404 not found dihapus aparat, sebab dianggap melecehkan lambang negara.
Menganggapi problematika ini, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM sekaligus Pemerhati Seni Visual, Irham Nur Anshari menyampaikan, dalam menyikapi persoalan penghapusan mural tersebut, hendaknya perlu memahami apa sebenarnya yang menjadi permaslahan utamanya, sebab kondisi tersebut sering dikaitkan dengan pelecehan simbol negara dan perusakan fasilitas umum.
“Kalau terkait problem perusakan fasilitas umum ini sedikit lucu karena pada kasus tersebut yang dihapus hanya mural yang dianggap sebagai gambar Presiden Jokowi sementara mural lain disampingnya tidak ikut dibersihkan" ujar Irham seperti dikutip Tempo dari laman resmi Universitas Gadjah Mada pada Jumat 3 September 2021.
Melansir laman resmi Universitas Gadjah Mada di situs ugm.ac.id, Irham mengatakan, dari kasus mural 404 not found bisa dilihat bahwa mural sebagai media menyampaikan aspirasi atau kritik dalam menghadapi tantangan di era demokrasi.
"Justru patut dipertanyakan masih adanya pihak-pihak yang merasa gerah terhadap kritik sosial yang disampaikan melalui mural," tutur Irham.
Irham menjelaskan, penggunaan mural sebagai media penyampaian aspirasi bisa dikarenakan tidak berjalannya sistem penyampai aspirasi formal di pemerintah dengan baik.
Sistem yang tidak lagi mampu menampung aspirasi menjadikan sebagian masyarakat mencari media lain untuk menyuarakan pendapatnya, salah satunya dengan mengekspose ke publik, baik lewat media online maupun offline, termasuk mural.
“Kalau via online tidak cukup maka offline juga dilakukan seperti dengan poster dan mural, ini bentuk demokrasi," kata Irham.
Sebut Irham, akan jadi tantangan sendiri bagaimana pemerintah bisa mendengar aspirasi dan kritik masyarakat tanpa melebeli dengan oposisi atau lainnya.
Lalu apakah penggunaan mural untuk menyampaikan aspirasi bisa dianggap efektif?
Irham menyebutkan, di era PPKM saat ini di mana masyarakat tidak banyak melakukan mobilitas, penggunaan mural dinilai tidak terlalu efektif untuk menyuarakan pendapat. Terlebih banyak mural yang digambar di titik-titik yang tidak terjangkau publik, seperti digambar di bawah jembatan.
Kendati begitu, kata Irham, yang menjadi menarik di era internet saat ini mural difoto dan disebarluaskan melalui berbagai platform digital. Dengan begitu aspirasi maupun kritik sosial dapat tersampaikan secara luas saat terdistribusikan secara online.
"Kritik pun menjadi berlipat ganda, mati 1 tumbuh 1.000,” tuturnya.
DELFI ANA HARAHAP
Baca juga: Hapus Mural di Jalan, Pemkot Bogor Akan Ganti dengan yang Punya Pesan Moral