TEMPO.CO, Jakarta - Pakar linguistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Makyun Subuki, mengatakan bahwa kata korupsi memiliki citra yang kurang negatif karena kata tersebut merupakan bahasa serapan. Menurut Makyun, penggunaan istilah asing seperti korupsi akan mencitrakan tindakan korupsi sebagai hal yang terasa lebih positif. Hal ini pun berdampak pada citra koruptor di masyarakat.
“Kata ‘korupsi’ ini kurang negatif karena kata ini serapan. Ini juga berlaku bagi kata serapan lain yang biasanya akan berkonotasi positif daripada padanannya dalam bahasa Indonesia,” kata Makyun, dikutip dari nu.or.id, Jumat, 9 September 2021.
Makyun juga menjelaskan bahwa penyebutan ‘koruptor’ dengan ‘pencuri’ atau ‘perampok’ akan memberikan citra yang lebih negatif. “Mengganti kata koruptor dengan pencuri atau perampok itu lebih memperlihatkan sisi negatif dari perbuatan korupsi. Hal ini penting karena mengesankan koruptor itu tidak ada bedanya dengan pencuri,” kata Makyun.
Selain itu, Makyun menjelaskan bahwa sejak awal kata korupsi tidak pernah dirasakan senegatif merampok atau mencuri. Walaupun begitu, menurut Makyun, konotasi negatif dari kata merampok atau mencuri untuk mengganti kata korupsi belum tentu dapat mengurangi tindak kejahatan korupsi. Tapi setidaknya, pemilihan kata tersebut dapat membuat pelaku lebih malu.
Sementara itu, Seno Gumira Ajidarma dalam kolom Bahasa di Majalah Tempo edisi 15 Mei 2017 mengatakan istilah “koruptpor” hanya berjaya sebagai bahasa sosial. Pada akhir sidang, menurut Seno, hakim tidak mengucapkan kalimat seperti, “Dengan ini Saudara secara resmi dinyatakan sebagai koruptor!”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Seno, arti “koruptor” terbatas pada: orang yang menyelewengkan (menggelapkan) uang negara (perusahaan, organisasi, yayasa, dsb) tempat kerjanya. Sedangkan dalam Tesamoko: Tesaurus Bahasa Indonesia, kata “koruptor” mendapat persamaan: maling, pencoleng, pencuri, pengutil, penipu, penjarah, penyeleweng-bahkan juga bajingan, bandit, penjahat.
Namun konotasi “koruptor” tidak sama dengan “maling” apalagi “bajingan”. Arti dari “tidak sama” ini adalah “tidak sama rendah” atau “tidak sama hina” dengan “maling” dan “bajingan”, meski nominal dan ruang lingkup dampaknya berkali lipat lebih besar.
EIBEN HEIZIER
Baca juga:
Ketua KPK Firli Sebut 239 Anggota DPR Belum Melaporkan LHKPN