INFO NASIONAL-Reformasi 1998 telah mengamanatkan beberapa perubahan mendasar yang menghendaki sebuah praktik politik dan pemerintahan yang berkhidmat pada prinsip-prinsip demokrasi, pelaksanaan pemilihan umum yang memilih representasinya di eksekutif maupun legislatif, serta terciptanya negara hukum (rechtsstaat) yang bersifat adil dan mampu menjamin setiap hak asasi warga negaranya. Urgensi konstitusi Indonesia, yakni UUD NRI 1945 jelas terlihat secara nyata baik merujuk pada pembukaan (preambul), maupun batang tubuhnya.
Dinamika konstitusi
Di era pasca reformasi, upaya untuk menjadikan konstitusi sebagai pijakan penyelenggaraan negara tercermin dari proses amandemen konstitusi 1999 hingga 2002. Ada banyak perubahan besar dan mendasar dari amandemen tersebut, antara lain penguatan sistem presidensial, pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), pengaturan yang lebih terperinci mengenai materi hak asasi, serta pembaharuan politik otonomi daerah.
Perubahan-perubahan yang terjadi di periode awal pasca reformasi tersebut tentu saja bukan perubahan yang bersifat final. Konstitusi Indonesia adalah konstitusi yang sifatnya terbuka, artinya sangat memungkinkan untuk berubah kembali sesuai dengan dinamika kebangsaan dan kenegaraan yang terjadi ke depan.
Dewasa ini, muncul kembali pertanyaan dari banyak pihak, apakah penerapan demokrasi di Indonesia saat ini sudah kompatibel dengan budaya dan peradaban demokrasi yang sesungguhnya, atau apakah demokrasi yang telah berjalan di era post-reform saat ini telah sejalan dengan kaidah-kaidah yang digariskan konstitusi.
Memaknai konstitusionalisme
Konstitusionalisme dimaknai sebagai sebuah paham sekaligus panduan tentang pentingnya pembatasan kekuasaan negara atau pemerintah melalui konstitusi. Pemaknaan ini secara implisit menegaskan dua hal. Pertama, konstitusi adalah sebuah norma atau kaidah, sedangkan konstitusionalisme adalah aktualisasi nyata berdasarkan norma atau kaidah tersebut. Kedua, substansi utama dalam konstitusi seharusnya ditujukan bagi terciptanya pembatasan kekuasaan negara.
Yang menarik dalam diskursus konstitusi dan konstitusionalisme ini adalah tidak semua negara yang memiliki konstitusi cenderung menjalankan prinsip konstitusional (constitutional state).
Demokrasi sejatinya merupakan paham atau cara pandang dalam mengelola bangsa dan negara sebagai sebuah entitas politik yang berdaulat. Arend Lijphart (1984) memaknai demokrasi sebagai tata kelola pemerintahan yang berbasis aspirasi rakyat. Lebih lanjut, ia menekankan bahwa sebuah pemerintahan disebut demokratis apabila berjalan berdasarkan aspirasi dan kebutuhan rakyat tersebut.
Di era pasca reformasi, dorongan untuk menjalankan praktik demokrasi konstitusional terus menguat terhadap pemerintah atau para penyelenggara negara. Hal ini dimaksudkan sebagai sebuah bentuk penginsyafan atas kesalahan praktik politik dan pemerintahan di era orde baru yang penuh penyimpangan. Almon Leroy Way Jr menjelaskan demokrasi konstitusional terdiri atas dua komponen utama, yakni “a constitutional and a democratic ingredient”, yakni sebuah komposisi yang berpijak pada konstitusi negara dan prinsip demokrasi.
Komitmen pemerintah
Pemerintah Indonesia di era pasca reformasi berkhidmat menjalankan praktik demokrasi yang konstitusional. Dalam bernegara, dilakukan penguatan checks and balances antara eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, penguatan sistem presidensial lewat skema pemilihan presiden dengan rakyat sebagai direct voters, iklim kondusif bagi tumbuhnya partai politik, eksistensi media massa, serta munculnya masyarakat madani (civil society).
Seperti halnya demokrasi secara umum, pelaksanaan pemilu di Indonesia juga berpijak pada prinsip konstitusionalisme. Rakyat bertindak langsung sebagai direct voters di semua level pemilihan, baik pipres, pilkada, hingga pemilu legislatif; nasional maupun daerah. Untuk memperkokoh penyelenggaraan pemilihan umum yang berbasis kon
stitusi, KPU, Bawaslu, juga diperkuat fungsi dan peranannya. Masih banyak problematika dalam pemilu, seperti dual legitimacy antara eksekutif dan legislatif, ambang batas pencalonan presiden, rezim pelaksanaan pemilu serentak yang sangat costly, dan lain-lain. Namun demikian, pencapaian hari ini harus tetap diapresiasi.
Ambivalensi demokrasi
Persoalan-persoalan dalam pelaksanaan demokrasi dan pemilihan umum yang berpijak pada konstitusi tidak hanya bersifat teknis saja. Ada kendala lainnya yang bersifat normatif dan filosofis, yang juga ditemui di negara-negara lainnya yang menjalankan praktik demokrasi. MacIver (1961) menyatakan demokrasi, termasuk pemilu sebagai teknis demokrasi, tidak akan pernah sempurna.
Untuk memfilter diri dari ambivalensi demokrasi, yang terkadang bersifat multitafsir dalam implementasinya, penting untuk selalu meletakkan segala sesuatunya pada daulat rakyat. Daulat rakyat jugalah yang akan menentukan apakah perdebatan mengenai amandemen konstitusi yang menyita perhatian publik akhir-akhir ini mungkin untuk dilaksanakan. Semuanya berpulang pada kehendak rakyat. Oleh: Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024.(*)