TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herlambang P. Wiratraman mencatat ada tujuh paradoks dalam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Banda Aceh hingga Mahkamah Agung pada kasus Dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh Saiful Mahdi.
Saiful dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena mengkritik perekrutan pegawai di kampusnya lewat WhatsApp Group. Ia digugat dengan tuduhan pencemaran nama baik. Upaya hukum banding hingga kasasi yang dilakukannya, ditolak. Saiful Mahdi menjalani eksekusi putusan vonis terhadap dirinya di Kejaksaan Negeri Banda Aceh, pada Kamis, 2 September 2021.
Pertama, ujar Herlambang, nalar hukum dalam putusan ini formalisme selektif, inkoheren, antara fakta/peristiwa hukum, pasal yang digunakan, dan mengabaikan asas kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
"Kedua, kritik disampaikan lewat grup terbatas, tidak untuk publik. Putusan sebelumnya sudah ada kasus serupa Prita Mulyasari dan Joko Hariyono. Dua kasus ini dibebaskan, tapi tidak untuk Pak Saiful Mahdi. Itu aneh sekali," ujarnya dalam diskusi daring, Selasa, 7 September 2021.
Ketiga, pasal yang dikenakan pencemaran nama baik. Padahal, ujar dia, kritik tidak menyebut personal, melainkan pimpinan institusi. Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Kriteria Implementasi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur, sebagai delik aduan absolut, maka harus korban sendiri yang mengadukan kepada aparat penegak hukum. Kecuali dalam hal korban masih di bawah umur atau dalam perwalian.
Selain itu, dalam SKB, dirincikan bahwa muatan pencemaran nama baik merujuk pada ketentuan dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Pencemaran itu diartikan sebagai delik menyerang kehormatan atau menuduh seseorang dengan hal yang tak benar.
Sehingga, sebelum aparat penegak hukum memproses pengaduan maka harus dibuktikan terlebih dahulu kebenaran dari suatu informasi yang disebarkan.
"Substansi kritik merupakan kebenaran, yang seharusnya perlu diuji lebih dulu, sebelum dilaporkan ke polisi. Tapi ini juga tidak diperhatikan oleh majelis hakim," ujar Herlambang.
Kelima, ujar dia, putusan hakim tidak memperhatikan bahwa kritik merupakan kebebasan ekspresi, berpendapat dan kebebasan akademik. "Keenam, kualitas putusan jauh di bawah standar HAM. Tidak mengakomodir UU 12 Tahun 2005. Sebab itu saya bilang formalisme selektif," ujarnya.
Ketujuh, putusan tidak mengikuti perkembangan hukum dan doktrinnya. "MA tidak mempedomani SKB Pedoman Implementasi UU ITE," ujarnya.
Menurut Herlambang, putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi dosen Unsyiah Saiful Mahdi secara nyata bukan hanya telah mencederai kebebasan akademik, melainkan pula meruntuhkan marwah kampus sebagai tempat yang seharusnya melindungi sikap dan pandangan kritis.
"Putusan MA jelas merupakan kemunduran bagi iklim kebebasan akademik dan otonomi kampus, yang pula menjadi preseden buruk bagi upaya mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab," ujar dia.
Menurutnya, keliru besar memenjarakan kritik.
"Menghukum Saiful Mahdi jelas merupakan dosa besar bagi upaya maju kebebasan akademik, dampaknya, bukan semata pembungkaman kritik dengan penjara, melainkan mematikan ruh universitas," ujar Herlambang.
Saat ini, pihak Saiful Mahdi tengah mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. "Saya mohon dukungan dari semua pihak untuk mendorong presiden menunjukkan keseriusannya. Bahwa SKB ini bukan sekadar oase, bahwa niat baik pemerintah untuk merevisi UU ITE bukan cuma janji palsu. Tangis kami ini bukan yang pertama, banyak sudah tangis korban (UU ITE)," ujar Dian Rubianty, istri Saiful Mahdi sambil terisak dalam diskusi tersebut.
DEWI NURITA