TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rupanya sudah lama mengendus pergerakan Hasan Aminuddin, suami Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari.
Dua tahun sebelum operasi tangkap tangan, KPK mendapat informasi ada dugaan penyerahan uang kepada Hasan dari salah seorang kepala dinas. "Pernah ada kepala dinas memberi Rp 300 juta,” kata Kepala Satuan Tugas Penyelidik KPK, Harun Al Rasyid, kepada Tempo, Kamis, 3 September 2021. “Saya memiliki catatannya."
Berbekal laporan tersebut, kata Harun, KPK menurunkan tim ke Probolinggo untuk memetakan dan memantau kondisi di sana. Saat itu Pemerintah Kabupaten Probolinggo menerapkan metode lelang jabatan karena banyak posisi kepala dinas yang diisi oleh penjabat.
Dari hasil pemantauan diketahui bahwa ada tiga orang yang tengah disiapkan oleh Hasan sebagai kepala dinas baru di Kabupaten Probolinggo. Setiap calon kepala dinas itu lalu diminta menyerahkan uang sekitar Rp 300 juta.
Namun, kata Harun, satu orang kandidat kepala dinas tidak bersedia memenuhi permintaan tersebut. Satu kandidat lainnya sudah bersedia menyiapkan uang. “Satunya lagi belum diketahui,” katanya.
Setelah mengumpulkan informasi, tim KPK yang diterjunkan ke lapangan memutuskan agar dugaan dagang jabatan itu dilanjutkan ke tahap penyelidikan. Pada tahap itu, tim butuh menyadap sejumlah nama. Sebelum memulai penyadapan, KPK lebih dulu harus mendapat izin dari Dewan Pengawas, lembaga yang baru dibentuk sesuai dengan Undang-Undang KPK hasil revisi kedua.
Penyelidikan ini akhirnya berjalan, hingga tim membutuhkan perpanjangan izin penyadapan ke Dewan Pengawas. Tapi proses permintaan perpanjangan penyadapan itu membutuhkan waktu lama di KPK, hingga kasus tersebut mangkrak. Penelusuran dugaan jual-beli jabatan kepala dinas di Probolinggo ini semakin berlarut-larut karena Harun dan dua anggota tim penyelidiknya tersingkir lewat tes wawasan kebangsaan pada Mei lalu. Selain ketiganya, ada 54 pegawai KPK lainnya yang disingkirkan lewat tes wawasan kebangsaan.
Hingga kini, Hasan Aminuddin dan Puput belum bisa dimintai konfirmasi. Ketika ditangkap dan dibawa ke Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur, keduanya sama sekali tak berkomentar ke awak media. Keduanya juga memilih bungkam ketika tiba di gedung KPK di Jakarta.
Tempo berusaha meminta konfirmasi melalui putra sulung Hasan, Zulmi Noor Hasani, tapi nomor kontaknya dalam keadaan tidak aktif. Tempo juga berupaya menghubungi Zulmi lewat Pemimpin Redaksi Koran Pantura—media milik Zulmi—Abdur Rohim Mawardi. Abdur mengaku pihaknya juga tidak bisa menghubungi bosnya itu semenjak KPK menangkap Hasan.
Lantas bagaimana kemudian tim KPK akhirnya bisa membongkar jual beli jabatan oleh Bupati Probolinggo? Simak cerita lengkapnya di Koran Tempo edisi Jumat, 3 September 2021.
Baca juga: KPK Geledah Rumah Dinas Bupati Probolinggo