Mimin mengatakan mural sebenarnya memiliki sejarah panjang dalam kebudayaan dan perjuangan masyarakat Indonesia. Ia mengatakan, setelah pembacaan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945, banyak pemuda-pemuda yang langsung menulis di tembok-tembok untuk mewartakan kemerdekaan Indonesia.
Gejayan Memanggil lantas ingin mengadopsi semangat 17 Agustus 1945 ke situasi hari-hari ini. Apalagi, saat ini bertepatan dengan bulan Agustus alias bulan kemerdekaan Indonesia.
"Dari sisi historis, bahkan sebelum Indonesia berdiri yang sifatnya mural itu hadir di tengah masyarakat, secara kebudayaan dan secara perjuangan," kata dia.
Selain sebagai respons terhadap pemberangusan kebebasan berpendapat oleh aparat, Mimin mengatakan 'Lomba Mural Dibungkam' ini sekaligus melawan narasi baliho para politikus.
Mimin mencontohkan baliho-baliho Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani yang marak bertebaran di banyak daerah. Ia menyebut mural dan baliho politik menunjukkan kontras antara suara rakyat dan suara kaum oligarki.
"Baliho itu kan sifatnya bayar. Artinya ada pembelahan suara kaum tertindas atau rakyat dan kelas atas yang bisa sewa baliho. Seperti Airlangga dan Puan banner-nya di mana-mana, entah pesannya apa," ujarnya.