TEMPO.CO, Jakarta - Kebebasan berekspresi di kampus terberangus lagi. Belum lama ini Dekanat Universitas Bengkulu (Unib) membekukan kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) periode 2021-2022. Dekan FH Unib pun tidak menjelaskan alasan pembekuan tersebut.
Pembekuan itu terjadi setelah BEM FH Bengkulu melayangkan serangkaian kritik kepada pihak kampus. Melalui akun instagramnya, @bem.fhunib mengkritik birokrasi pelayanan mahasiswa di kampus, seperti masalah administrasi dan akademik yang berbelit, dan transparansi pendanaan kegiatan organisasi mahasiswa.
Kejadian yang sama juga terjadi di Universitas Indonesia (UI). Seusai mengkritik Presiden Joko Widodo, sejumlah pengurus BEM UI dipanggil oleh Rektrorat UI. Langkah pemanggilan ini pun mendapat kritik dari sejumlah pihak, mulai dari politisi, LSM, akademisi, hingga mahasiswa.
Pemimpin Redaksi Suara Mahasiswa UI, Nada Salsabila menyayangkan kejadian yang mencederai kebebasan ekspresi di kampus masih terus terjadi belakangan ini. Menurutnya, pembekuan BEM di Universitas Bengkulu dan pemanggilan BEM UI oleh rektorat itu bakal membahayakan iklim demokrasi di kampus.
Sebagai mahasiswa UI, Nada melihat adanya penurunan kualitas kebebasan berekspresi di kampusnya. Ia menyebut pemanggilan fungsionaris BEM UI terkait postingan kritik sebagai salah satu contohnya. Menurutnya, pemanggilan itu tidak dapat dibiarkan karena seharusnya kampus menjamin hak-hak mahasiswanya, termasuk hak berekspresi.
Tanggapan serupa juga disampaikan oleh Zaadila Muftial Mabrur, perwakilan Aliansi Mahasiswa UGM. Menurutnya, tindakan yang dilakukan oleh Dekanat FH Unib dan Rektorat UI mencerminkan sikap anti-kritik dan terkesan otoriter.
Mufti pun menyayangkan kecendrerungan pihak kampus yang membatasi, bahkan tidak melindungi hak mahasiswanya dalam berekspresi. “Budaya kritis bukan saja tidak dijunjung, bahkan sekadar dilindungi pun tidak,” kata Mufti.
Sementara itu, Annisa Nurul Hidayah, aktivis Gerakan Perempuan (Gerpuan) UNJ mempertanyakan sikap politik birokrat kampus yang otoriter. Pasalnya, pembekuan tersebut tidak berdasarkan argumentasi yang jelas. Ia menilai sikap otoriter tersebut bakal mematikan budaya kritis dan memberangus hak berekspresi mahasiswanya.
Perempuan yang akrab dipanggil Nisyu ini juga menyoroti kecenderungan pihak kampus yang berupaya menjaga nama baik kampus. Sayangnya, kecenderungan ini membuat banyak kampus yang anti-kritik dan melarang mahasiswanya vokal terhadap isu-isu terkait kebijakan kampus. Misalnya, isu uang kuliah, kekerasan seksual, dan kritik terhadap pemerintah.
“Nama baik kampus bisa dijaga apabila kultur kritik dan otokritik tetap ada. Seharusnya kampus menjaga hak-hak mahasiswanya, termasuk hak berekspresi,” kata Nisyu kepada Tempo.co melalui pesan WhatsApp. Nisyu berharap tindakan memalukan yang mencederai marwah pendidikan seperti ini tidak dilakukan lagi oleh institusi pendidikan.
Senada dengan Nisyu, Nada berpendapat bahwa kampus harusnya dapat memelihara iklim demokrasi dengan melindungi kebebasan berekspresi. Ia menambahkan, seharusnya kampus bisa menjadi pengawas jalannya pemerintahan. “Saya harap seluruh kampus di Indonesia tidak bertindak sebagai perpanjangan tangan otoritas dan selalu sejalan dengan kepentingan pemerintah saja,” kata Nada.
Sementara itu, Mufti berharap adanya kebebasan berekspresi, pikiran dan ruang dialog yang terbuka di kampus. Hal ini agar pihak kampus bisa untuk menerima kritik dan mengakui kesalahan sebagai hal yang wajar. “Sehingga tidak perlu ada cara atau gestur yang mengancam mahasiswa. Sebab, mahasiswa bersuara bukan mencari keributan, tetapi mencari kepastian,” kata Mufti, menegaskan.
M. RIZQI AKBAR
Baca: Mahasiswa Surabaya Khawatirkan Kemunduran Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi