TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memetakan risiko-risiko korupsi yang dapat terjadi terkait dengan bantuan sosial (bansos). Pertama, penerima bantuan fiktif (tidak ada). KPK melihat risiko korupsi jika data penerima bantuan tidak padan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
"Ini bisa jadi ganda karena tidak bisa secara cepat diidentifikasi siapa yang menerima dua (bantuan). Kalau nama kan ada M Nasir dengan Muh Nasir dengan Muhammad Nasir dengan Muhammad N itu bisa jadi empat orang tetapi kalau ada NIK-nya ketahuan dia hanya satu," kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan saat Webinar JAGA.ID "Bansos Dipotong Ke mana Harus Minta Tolong", Kamis 19 Agustus 2021.
Menyikapi hal tersebut, Kemensos telah menjalankan rekomendasi KPK dengan baik untuk menggabungkan tiga basis data penerima bansos.
"Oleh karena itu yang Bu Risma (Tri Rismaharini/Mensos) tunjukkan dari 193 juta (penerima) turun menjadi 155 juta hanya memastikan yang tidak ada NIK-nya," tuturnya.
Kedua, tidak perbaruinya data penerima bansos. "Tahun ini ada NIK-nya benar tetapi kan orangnya bisa meninggal, bisa cerai, bisa pindah masuk pindah keluar. Kalau yang meninggal sama lahir saya dapat bocoran dari Pak Zudan setahun aja sudah tiga juta (orang) belum yang pindah mungkin sekitar 10 juta," ucap dia.
Akibat NIK tidak diperbarui tersebut, kata dia, maka bantuan menjadi salah sasaran. "Karena NIK-nya tidak di-update bantuannya datang orangnya tidak ada, dibilang lah bantuan salah sasaran, masa dikasih sama orang yang tidak ada karena tidak di-update datanya. Itu yang kami bilang DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) tidak boleh statik dia harus dinamis karena updating-nya kan terjadi terus," ungkap Pahala.
Ketiga, barang tidak sesuai kuantitas atau kualitas. "Kalau bansos dberikan dalam bentuk paket seperti kasus yang terdahulu pasti nanti ada laporan kurang kualitas, kurang kuantitas, saya dibagi kurang. Jadi, kami selesaikan solusinya dengan Bu Menteri kalau bisa jangan dikasih dalam bentuk barang, sekarang yang terjadi hampir semua dalam bentuk tunai," tuturnya.
Keempat, pemotongan bansos tunai. "Yang tidak kami duga ada risiko ada "tangan-tangan" ikut di lapangan yang mungut itu. Mungut Rp50.000 mungut Rp10.000, ada yang bilang ikhlas ada yang bilang tidak lantas ada yang bilang tranportasi, rela segala macam," ujar Pahala.
Pahala mengatakan hal tersebut tidak bisa ditolerir. Oleh karena itu, kata dia, masyarakat dapat melaporkannya melalui aplikasi JAGA.ID.
Baca: Buka Posko Aduan Sunat Bansos, KPK Minta Inspektorat Segera Respons Laporan