TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera atau PKS, Aboe Bakar Al-Habsyi, menilai rencana amandemen UUD 1945 saat ini tidaklah tepat. Ia mengatakan, rakyat sedang menghadapi duka dan kesusahan akibat pandemi Covid-19.
"Jika saat ini membahas amandemen UUD 1945 seolah tidak peka dengan situasi ini," kata Habib dalam keterangan tertulis, Kamis, 19 Agustus 2021.
Dia menyebut banyak orang yang ditinggal wafat sanak-saudaranya, sedang berjuang melawan Covid-19, serta bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi. Menurut Habib, makin tak tepat jika yang dibahas dalam amandemen itu adalah perubahan masa jabatan presiden.
"Jika dipaksakan rakyat tentu akan melihat ada pihak yang mementingkan kekuasaan daripada nasib rakyat," ujar Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan ini.
Habib mengatakan dalam situasi saat ini seharusnya semua elemen bangsa fokus dan berupaya menangani pandemi. Baik dalam layanan kesehatan untuk mengurangi risiko kematian akibat Covid-19 maupun dalam upaya pemulihan ekonomi agar rakyat dapat makan dan bertahan hidup di tengah pembatasan kegiatan.
"Daripada membahas amandemen UUD 1945, lebih urgent jika saat ini kita menyiapkan roadmap jangka panjang penanganan Covid-19," kata Habib.
Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat ini mengatakan bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi alias salus populi suprema lex esto. Ia mengingatkan tak ada yang lebih penting ketimbang keselamatan rakyat itu sendiri.
Habib juga menilai, roadmap jangka panjang Indonesia dalam menangani Covid-19 sangat diperlukan agar kebijakan dalam pandemi ini jelas peta jalannya. Jangan sampai, ucapnya, rakyat melihat penanganan pandemi hanya berganti-ganti nama tanpa orientasi yang jelas.
Gagasan amandemen UUD 1945 mencuat kembali di Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam beberapa waktu terakhir. Dalam sejumlah forum penting, Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan diperlukan amandemen terbatas untuk mengembalikan kewenangan MPR menetapkan pokok-pokok haluan negara (PPHN).
Baca juga: Soal Amandemen UUD 1945, Ketua MPR Bilang Konstitusi Bukan Kitab Suci