Bagian 3
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi berbicara dalam konferensi pers di Capitol Hill, Washington DC, AS, pada 25 Februari 2021. (Xinhua/Ting Shen)
Pada 16 April, para perusuh Hong Kong yang anti-China, seperti Jimmy Lai Chee-ying dan Martin Lee Chu-ming, dijatuhi hukuman oleh pengadilan Hong Kong. Setelah vonis dibacakan, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mencuit di Twitter. Ia menyatakan bahwa hukuman itu "tidak dapat diterima," dan menyerukan agar para terdakwa dibebaskan. Di akhir cuitannya, dia juga menambahkan tagar #StandWithHongKong.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS, Nancy Pelosi juga menulis di akun Twitter bahwa dirinya, "sedih dan terganggu" oleh hukuman itu, lalu menyebut hukuman yang dijatuhkan sebagai, "tanda lain dari serangan Beijing terhadap supremasi hukum." Pernyataan tersebut tidak beralasan, karena masyarakat Hong Kong berada di bawah supremasi hukum. Bukti aktivitas ilegal yang dilakukan oleh para terdakwa juga sangat kuat.
Pengadilan Hakim Kowloon Barat pada 16 April menjatuhkan hukuman 14 bulan penjara bagi Jimmy Lai karena mengatur dan berpartisipasi dalam pertemuan ilegal pada 18 Agustus 2019 di Pulau Hong Kong, serta berpartisipasi dalam pertemuan tanpa izin pada 31 Agustus 2019. Pengadilan itu menangani pula dua kasus lain yang melibatkan Lai, termasuk dugaan pelanggaran Undang-Undang Keamanan Nasional di Hong Kong dan penipuan.
Jaksa juga menggugat Lai atas persekongkolan dengan pihak eksternal untuk membahayakan keamanan nasional dan konspirasi untuk mengacaukan jalannya keadilan publik. Fakta-fakta menunjukkan bahwa para pelaku tindak ilegal seperti Lai dan Lee telah bersekongkol dengan kekuatan Barat dan anti-China untuk membuat keonaran. Terungkap pula bahwa Lai telah menjalin koneksi dengan National Endowment for Democracy, entitas yang disponsori oleh pemerintah AS.
Dalam gerakan ilegal "Occupy Central" pada 2014 serta kerusuhan terkait amendemen Peraturan Buronan Pelanggar Hukum dan Bantuan Hukum dalam Peraturan Masalah Kriminal (Fugitive Offenders Ordinance and the Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Ordinance) pada 2019, surat kabar lokal Apple Daily, yang dikelola oleh Lai, berperan sebagai alat propaganda bagi kekuatan destabilisasi dan anti-China.
Bahkan setelah penerapan Undang-Undang Keamanan Nasional di Hong Kong, para pelaku masih terus "berjuang untuk Amerika Serikat" dengan menyamar sebagai pekerja media. Pelanggaran aturan dasar yang mereka lakukan berulang kali menjadikan mereka musuh bersama bagi masyarakat Hong Kong.
Hukuman bagi mereka yang mengatur dan berpartisipasi dalam pertemuan tanpa izin dan ilegal didasarkan pada bukti faktual yang cukup, dengan prosedur yang sepenuhnya sah dan putusan diumumkan sesuai hukum.
Beberapa politisi AS kerap mencampuri urusan Hong Kong dan dalam negeri China. Hal ini menunjukkan praktik standar ganda yang masih melekat di politisi AS. Ketika demonstrasi ilegal muncul di Hong Kong, Nancy Pelosi menyebutnya sebagai, "pemandangan yang indah dilihat." Sebaliknya, dia mengecam tindakan penegakan hukum oleh polisi Hong Kong.
Selanjutnya, ketika kerusuhan meletus di Los Angeles pada 1992, politisi California yang sama tidak menemui dan menyemangati para dalang kerusuhan. Di 2021, ketika Gedung Capitol Hill AS diserang, Pelosi sebagai anggota Kongres tidak menyebut kerusuhan itu sebagai "pemandangan yang indah dilihat," namun justru mengecam para penyerang.
Bagian 4
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken memberikan kesaksian di hadapan Komite Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS di Capitol Hill, Washington DC, pada 10 Maret 2021. (Xinhua/Pool/Ken Cedeno)
Pada 7 Mei, Antony Blinken mencuit di Twitter bahwa AS "berpihak pada rakyat Hong Kong," seraya meminta pemerintah Hong Kong untuk segera membebaskan para pemicu kerusuhan di kota tersebut, termasuk Joshua Wong. Pada 6 Mei, empat dalang kerusuhan Hong Kong, termasuk Wong, dijatuhi hukuman empat hingga 10 bulan penjara oleh Pengadilan Distrik SAR Hong Kong karena dengan sengaja berpartisipasi dalam pertemuan ilegal.
Permintaan untuk segera membebaskan para terdakwa itu tidak menghormati aturan hukum, dan menunjukkan upaya Washington untuk mencampuri urusan dalam negeri China. Kendati hukum Hong Kong selalu menghormati dan melindungi hak dan kebebasan, hak dan kebebasan ini tidaklah absolut, dan harus dibangun berlandaskan pemeliharaan ketertiban umum serta perlindungan hak dan kebebasan orang lain. Wong dan lainnya tahu pertemuan itu ilegal, namun tetap mengikutinya.
David Gosset, pakar Prancis tentang isu-isu internasional sekaligus pendiri Forum Eropa-China, menyebut beberapa politisi Barat sebagai orang-orang munafik yang menutup mata terhadap kekerasan di Hong Kong. Dia menekankan bahwa aksi kekerasan di kota itu, yang merusak hak-hak penduduknya, harus dikutuk. Menurut John Ross, mantan direktur Kebijakan Ekonomi dan Bisnis London, politisi AS memakai alasan hak asasi manusia hanya bila menyangkut urusan Hong Kong.
Pengacara Inggris, Grenville Cross, yang mulai bekerja di Hong Kong pada 1978 dan menjabat direktur Kejaksaan Penuntut Umum pertama Hong Kong setelah kembali ke pangkuan China, menyebut kekuatan anti-China internasional berusaha merusak praktik "satu negara, dua sistem" dengan menghancurkan kemakmuran dan stabilitas Hong Kong.
Pada 2019, ketika pemerintah Hong Kong berusaha untuk memperkenalkan amendemen undang-undang ekstradisinya, kekuatan anti-China di AS dan beberapa negara Barat lainnya memprovokasi kejahatan kekerasan di Hong Kong dari balik layar, dengan gila-gilaan menantang landasan "satu negara, dua sistem", merusak kemakmuran dan stabilitas Hong Kong, serta membuat penduduknya dilanda kecemasan ekstrem. Pada 2021, pihak AS masih berusaha keras untuk berbicara atas nama para penjahat, termasuk Wong. Ini lagi-lagi menunjukkan bahwa dengan mengklaim dirinya "berpihak pada rakyat Hong Kong," Washington sebenarnya berpihak pada para pelaku kejahatan dan memperlakukan penduduk Hong Kong sebagai musuh.