TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang lagi-lagi menekankan ihwal pembangunan infrastruktur dan ekonomi.
KontraS juga menilai Presiden tak menyampaikan bagaimana peta jalan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat serta menjamin kebebasan sipil di Indonesia.
"Pidato kenegaraan Jokowi semakin menegaskan bahwa pemerintah tidak lagi mempedulikan hak asasi manusia," kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulis, Senin, 16 Agustus 2021.
Fatia mengatakan, melihat rekam jejak selama setahun terakhir, langkah penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bahkan tak pernah dimulai. Ia berujar situasi ini diperparah dengan pemberian bintang jasa utama kepada Eurico Guterres, eks milisi Timor Timur pro-NKRI yang diputus sebagai pelaku pelanggaran HAM berat dalam pengadilan tribunal di Timor Leste.
"Kami melihat situasi HAM ke depan tak akan kunjung membaik sebab praktik impunitas dan pengabaian HAM terus dijalankan," ujar Fatia.
Menurut Fatia, pengabaian HAM kian masif terutama di masa pandemi Covid-19. Dia mengatakan pemerintah bukannya menangani pagebluk secara serius menggunakan pendekatan pemenuhan hak atas kesehatan dan pemenuhan pangan, tetapi membangkang dari amanat Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.
Di sisi lain, Fatia mengatakan, penanganan pandemi selama ini justru mengedepankan pendekatan sekuritasisasi yang memperlebar ruang represi terhadap masyarakat. Padahal, kata dia, pendekatan keamanan tersebut terbukti gagal mengatasi pandemi.
KontraS juga menyoroti klaim Jokowi ihwal keberhasilan pemerintah dan DPR menyelesaikan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai omnibus law pertama di Indonesia, serta hasrat mantan Gubernur DKI Jakarta itu untuk menarik sebanyak-banyaknya investasi. Pertama, kata Fatia, penyusunan UU Cipta Kerja secara formil problematis dan tak partisipatif.
Adapun secara substansi, muatan beleid yang ingin menarik investasi sebesar-besarnya itu berpotensi menyengsarakan rakyat, memperbesar potensi pelanggaran HAM, dan merusak lingkungan. Di sisi lain, jaminan atas kebebasan kebebasan sipil makin berkurang.
KontraS menyinggung gejolak penolakan publik terhadap UU Cipta Kerja yang tak didengarkan sama sekali oleh pemerintah. Rangkaian demonstrasi di berbagai daerah pun direspons dengan represi dari aparat.
Fatia mengatakan, masyarakat yang menolak aktivitas investasi yang merusak lingkungan juga mengalami kriminalisasi. Misalnya kasus kriminalisasi masyarakat adat Kinipan, pembangunan bendungan di Wadas, dan pertambangan emas di Sangihe. "Belum lagi persoalan Papua yang luput dari sorotan Presiden. Padahal masalah kesehatan, kemanusiaan, dan lingkungan di sana semakin parah," kata Fatia.
Fatia melanjutkan, Presiden Jokowi dalam pidatonya sebenarnya menyadari banyaknya kritik yang disampaikan. Namun, kata dia, pemerintah dan DPR tak menggubris kritik dari publik. Pemerintah disebutnya justru cenderung membiarkan pembungkaman kritik di ruang publik dan digital. "Pada akhirnya, KontraS melihat bahwa pidato Presiden hanya lip service semata dalam menjaga kebebasan sipil," ujarnya.
Baca juga: Pandu Riono Heran Jokowi Pakai Istilah Gas dan Rem di Sidang Tahunan MPR