Persoalan berikutnya, menurut dia, berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. “Ada tujuh juta tenaga kerja baik langsung atau tidak yang bekerja di sektor ini dan menjadi pertimbangan Kementerian Bidang Perekonomian.”
Tapi, Direktur SDM Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan mengatakan, seharusnya, persoalan ekonomi dan kesehatan bukan hal yang harus dipertentangkan. “Kepentingan kesehatan dan ekonomi itu saling mendukung,” katanya dalam diskusi yang sama, kemarin. Masyarakat yang sehat akan mendukung pertumbuhan ekonomi. Demikian sebaliknya, masyarakat yang sakit akan membebani pertumbuhan ekonomi.
“Masyarakat yang sehat tidak meningkatkan biaya kesehatan sehingga uangnya bisa digunakan untuk investasi sumber daya manusia dan lebih bahagia dari yang sakit-sakitan,” ujarnya.
Di masa pandemi seperti sekarang, kata Abdillah, Indonesia jangan menambah masalah kesehatan dari konsumsi rokok yang meningkat. “Masyarakaat yang sehat itu pondasi sumber daya masyarakat Indonesia yang kuat. Jangan dikira kalau kita mau mengurangi konsumsi rokok akan menghambat pertumbuhan ekonomi.”
Dewan Penasihat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Prof Emil Salim. TEMPO/Nufus Nita Hidayati
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sendiri mengaku terkejut mengetahui tingginya prevalensi perokok anak. “Saya terkejut, ternyata anak-anak muda Indonesia tinggi sekali ya prevalensi perokok anaknya,” katanya saat menjadi pembicara kunci di peluncuran Kampanye Berhenti Merokok pada awal Juni lalu.
Dengan fakta itu, alih-alih akan berupaya keras untuk merevisi PP 109/2012, Menteri Budi justru mengeluarkan wacana penurunan prevalensi perokok anak paling efektif diselesaikan melalui gerakan sosial. Ia beralasan, upaya menurunkan prevalensi perokok anak tidak cukup diselesaikan dengan regulasi.
"Apakah tidak boleh menakut-nakuti, atau menutup akses penggunaan? Memang secara historically, tidak cukup, buktinya sudah ada regulasi, angka kecanduan merokok terus jalan," katanya.
Budi membandingkan seseorang yang mengalami kecanduan obat-obatan. “Semua tahu tidak sehat, tapi peningkatan pemakainya meningkat terus. Dibandingkan rokok, hukumannya lebih keras tapi ya angka konsumsinya tetap jalan terus,” ucapnya.
Pemerhati masalah anak, Seto Mulyadi atau yang biasa disapa Kak Seto, menilai pemerintah kurang serius melindungi anak-anak. Ia menjelaskan, saat ini, anak-anak dikepung oleh asap dan iklan rokok konvensional dan elektronik. “Jika pemerintah tidak juga merevisi PP 109/2012, maka sama saja telah terjadi pembiaran atau pelalaian terhadap perlindungan anak-anak dari asap rokok,” katanya kepada Tempo pada bulan lalu.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia ini menjelaskan, selama ini, Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau atau FCTC, cukup tersisihkan di mata dunia. Indonesia dianggap gagal dalam melindungi anak-anak dalam pemenuhan hak kesehatan dari paparan asap dan iklan rokok.
“Dari negara tetangga semua meratifikasi aturan itu. Kalau belum melakukan ya buat aturan. Enak saja membandingkan dengan narkoba, upayanya kok tampak kurang serius, mohon maaf, seolah-olah membiarkan anak-anak jadi korban,” katanya menanggapi pernyataan Menteri Kesehatan.
Baca juga: Presiden Diminta Sahkan Revisi PP 109/2012 untuk Lindungi Anak dari Iklan Rokok