Menurut Sumaryati, , jauh sebelum keluar Keputusan Presiden itu, pada 2014, Kementerian Kesehatan dan masyarakat pro pengendalian tembakau sudah menilai aturan itu harus direvisi. Sudah menjadi rahasia umum, anak mudah terstimulasi oleh kencangnya iklan rokok.
Data prevalensi perokok anak umur 10-18 tahun. Foto: Dok. Buku Fakta Tembakau 2020.
Ia menjelaskan, aturan 40 persen pada bungkus rokok untuk peringatan kesehatan bergambar tidak cukup ampuh membendung kemauan anak-anak mengisap rokok. Indonesia harus membuat aturan yang memberikan porsi peringatan kesehatan bergambar lebih dari 90 persen. Dengan melihat porsi bahaya rokok bagi kesehatan lebih besar, anak-anak terstimulasi untuk berhenti merokok.
Di luar masalah itu, harga rokok eceran pun sangat murah. “Anak-anak itu biasanya membeli eceran sesuai uang jajan mereka, seribu rupiah sudah bisa beli rokok,” katanya kepada Tempo, Senin, 9 Agustus 2021. Masyarakat propengendalian tembakau berharap aturan revisi nanti juga akan menaikkan harga eceran rokok agar tidak terjangkau anak-anak. Terakhir, menurut dia, saat aturan itu dikeluarkan, gempuran rokok elektronik belum sedahsyat saat ini, sehingga perlu regulasi untuk membendung anak-anak mengkonsumsinya.
Dalam buku Fakta Tembakau Indonesia 2020 Data Empirik untuk Pengendalian Tembakau, prevalensi perokok elektronik remaja usia 10-18 tahun meningkat hampir 10 kali lipat dari 1,2 persen tahun 2016 menjadi 10,9 persen tahun 2018. Peningkatan ini jauh lebih tinggi dari prevalensi perokok elektronik dewasa pada periode yang sama 2016-2018 dari 2 persen menjadi 2,7 persen. Pada 2011 Global Adults Tobacco Survey (GATS) menemukan prevalensi perokok elektronik dewasa 0,3 persen.
Melihat fakta-fakta di atas, desakan untuk merevisi aturan makin kencang. Indonesia adalah pasar gurih bagi industri rook. Data Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas 2018 menyatakan, pada 2018, total jumlah perokok kita menjadi 65,7 juta jiwa dan membuat kita bertengger di urutan ketiga di dunia setelah Cina dan India.
Menurut Sumaryati, Presiden Jokowi bukan hanya menerbitkan Keppres. Tahun lalu, pemerintah menerbitkan Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 yang menjadi komitmen presiden untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen di tahun 2024. Ia menilai, target itu akan sulit tercapai.
“Anak-anak karena sekolah online, ponsel itu menjadi bagian hidupnya hampir seharian, yang fungsinya bukan hanya untuk sekolah tapi juga main-main. Di situ banyak iklan rokok berseliweran sehingga anak-anak terangsang untuk rokok,” ujarnya.