TEMPO.CO, Jakarta - Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menilai pembekuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Bengkulu oleh dekan sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Pembekuan itu terjadi setelah rangkaian kritik BEM FH Unib ihwal layanan akademik dan transparansi pendanaan kegiatan kemahasiswaan.
Koordinator KIKA Dhia Al Uyun mengatakan, selain pembungkaman akademik, ada cacat prosedur dalam pembekuan tersebut. "Ada dua hal menarik, yaitu pembungkaman akademik dan cacat prosedur," kata Dhia kepada Tempo, Rabu petang, 11 Agustus 2021.
Dhia merujuk pada dua versi surat keputusan pembekuan BEM oleh Dekan FH Universitas Bengkulu. Meski terdapat perbedaan, dua layang itu menggunakan nomor yang sama.
Menurut Dhia, hal itu menandakan bahwa surat dikeluarkan dengan terburu-buru. Ia pun menilai surat yang cacat prosedur itu tak memberikan kepastian hukum dan due process of law mengenai kedudukan mahasiswa BEM dan penyelesaian yang adil.
Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Edra Sutmaidi sebelumnya mengklaim pembekuan sudah sesuai dengan kewenangan dan prosedur yang berlaku di Universitas Bengkulu. Dia mengatakan pembekuan dilakukan lantaran BEM mengabaikan pembinaan oleh pihak fakultas.
Edra juga merujuk unggahan-unggahan di akun Instagram BEM Fakultas Hukum. "Apa yang mereka lakukan tanpa dasar, tidak sesuai aturan dan etika yang merugikan FH Unib," kata Edra ketika dihubungi, Rabu, 11 Agustus 2021.
Menurut Dhia Al Uyun, kampus harusnya bersikap terbuka terhadap kritik. Ihwal kritik transparansi pendanaan, Dhia mengingatkan, Undang-Undang Pelayanan Publik dan UU Keterbukaan Informasi Publik telah jelas mengamanatkan asas keterbukaan itu, kecuali untuk hal-hal yang dikecualikan.
"Upaya pendisiplinan dilakukan untuk pembungkaman kebebasan akademik. Dari dua surat yang tidak sama, terlihat institusi pendidikan juga gagap menyikapi ini," ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini.