TEMPO.CO, Jakarta - Tri Artining Putri, salah satu dari 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) memaparkan beberapa poin bantahan atas pernyataan pimpinan, Nurul Ghufron.
Yakni ihwal legal standing, penyisipan pasal, dan sosialisasi. Untuk penyisipan pasal, saat itu Nurul Ghufron menyatakan tak ada yang salah ketika justru pimpinan hadir dalam rapat harmonisasi. Ombudsman Republik Indonesia menemukan pasal sisipan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan TWK yang diduga dilakukan dalam rapat itu. Selain itu, rapat seharusnya dipimpin oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan.
"Saya tidak begitu mengerti soal apakah itu maladministrasi, tapi yang perlu di garis bawahi adalah kalau misalnya Pak Ghufron menyebutkan itu bukan penyisipan pasal, lalu apa namanya ketika pasal TWK masuk dua hari sebelum perundangan dan pasalnya sangat berbeda dengan apa yang sudah disepakati sejak Agustus bahkan awal Januari?" ujar Puput, panggilan akrab Tri Artining Putri, melalui diskusi daring pada Ahad, 8 Agustus 2021.
Kemudian untuk sosialisasi, pimpinan mengklaim telah melakukan sosialisasi yang mumpuni terkait Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021. Puput menegaskan bahwa yang diunggah dalam portal internal KPK merupakan draft November 2020.
"Jadi dari November hingga Januari tentu banyak sekali perubahan, tapi yang diunggah terakhir November nih. TWK masuk dua hari sebelum pengundangan, jadi logikanya tidak mungkin ada sosialisasi soal pasal TWK," kata Puput.
Kemudian tentang legal standing, Puput menjelaskan dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik berbunyi salah satu ruang lingkup pelayanan publik adalah administrasi pekerjaan, di mana aduan yang dilaporkan kepada Ombudsman selaras dengan isi pasal tersebut. Pun pasal itu juga menjadi landasan hukum. "Jadi bukan kami tidak punya legal standing saat mengajukan ini kepada Ombudsman," ucap Puput.
Sebelumnya, Nurul Ghufron menuding Ombudsman melakukan maladministrasi dalam pemeriksaan laporan tes wawasan kebangsaan. Ghufron mengatakan laporan pemeriksaan Ombudsman dihasilkan dari proses yang maladministratif.
Itu yang menjadi salah satu alasan KPK keberatan melaksanakan tindakan korektif Ombudsman. “Rapat harmonisasi yang dihadiri atasan yang kemudian dinyatakan maladministrasi oleh Ombudsman, ternyata dilaksanakan juga oleh Ombudsman,” kata Ghufron di kantornya, Kamis, 5 Agustus 2021.
Ghufron mengatakan dimintai klarifikasi oleh komisioner Ombudsman Robert Na Endi Jaweng pada 3 Juni 2021. Padahal, menurut Ghufron, berdasarkan Undang-Undang Ombudsman, pemeriksaan itu seharusnya dilakukan oleh Deputi Keasistenan Bidang Pemeriksaan Ombdusman. “Maka kalau konsisten, pemeriksaan ini juga dilakukan secara maladministrasi,” ujar Ghufron.
Dalam temuannya Ombudsman menyatakan telah terjadi pelanggaran prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam rapat harmonisasi peraturan internal KPK yang memuat klausul tentang TWK di Kementerian Hukum dan HAM pada 26 Januari 2021. Pelanggaran prosedur itu adalah pimpinan KPK, BKN, LAN, serta Menteri Hukum dan HAM dan Menteri PAN RB hadir langsung dalam rapat itu. Padahal, menurut Peraturan Menkumham tentang rapat harmonisasi, seharusnya yang hadir adalah setingkat Direktur dan Sekretaris Jenderal.
Selain itu, Ombudsman juga menemukan telah terjadi manipulasi penandatanganan berita acara rapat. Pejabat yang tidak hadir dalam rapat itu, justru yang meneken dokumen. “Pada tiap tahapan terjadi maladminstrasi berlapis-lapis,” kata Robert dalam acara Ini Budi di kanal YouTube Tempo, Jumat, 23 Juli 2021.
Ghufron berujar ada 5 rangkaian rapat harmonisasi. Rapat lainnya dihadiri oleh pejabat setingkat Dirjen. Pimpinan baru hadir di rapat terakhir. Menurut Ghufron tak ada yang salah dari kehadiran itu. “Delegator, orang yang menyerahkan delegasi itu sewaktu-waktu ketika saya hadir sendiri itu tidak salah menurut hukum,” kata Wakil Ketua KPK itu.
ANDITA RAHMA