Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Perlu Dikaji Ulang, RUU EBT Sarat Kepentingan Bisnis

image-gnews
Ngobrol tempo bertajuk
Ngobrol tempo bertajuk "Dampak Regulasi EBT Terhadap Ketahanan Energi Nasional" yang disiarkan secara daring, Senin (2/8)
Iklan

INFO NASIONAL- Pemerintah telah menetapkan target pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) sebanyak 23 persen dalam bauran energi Nasional 2025. Dalam perjalanannya, isu EBT menjadi bahan perbincangan hangat seiring penggarapan Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT.

Pakar energi ITS Prof. Ir. Mukhtasor M.Eng., Ph.d menyatakan, ketentuan di dalam RUU EBT menimbulkan kekhawatiran dan tidak menjawab secara detail persoalan utama pengelolaan EBT. Menurutnya, terdapat beberapa persoalan dalam tata kelola bisnis di RUU EBT, khususnya pasal 39, 40, dan 51.

Strategi pengembangan energi terbarukan yang diadopsi dalam RUU tersebut dinilai berpotensi membawa risiko di sektor sosial ekonomi. “Banyak pasal banyak yang masih bermasalah dan justru menyebabkan kemampuan nasional tak terfasilitasi dengan baik. Hal ini dapat menjadi beban dalam pembangunan,” ujarnya dalam diskusi virtual Ngobrol@Tempo bertajuk “Dampak Regulasi EBT Terhadap Ketahanan Energi Nasional”, Senin, 2 Agustus 2021.

Kekhawatiran tersebut muncul lantaran berdasarkan pasal 40 RUU EBT, Perusahaan Listrik Negara (PLN) diwajibkan membeli produksi listrik swasta dan asing. Lalu pasal 51 menyatakan adanya feed-in tariff (tarif masukan) sebagai harga jual listrik dari swasta oleh PLN. “Padahal, tarif masukan ini dapat membuat harga jual listrik (berpotensi menjadi) lebih mahal lagi,” katanya.

Muhktasor melanjutkan, dalam pasal 51 juga tertera bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara legal wajib digunakan guna menutup kerugian apabila PLN membeli listrik lebih mahal dari swasta dan asing. Hal tersebut akan membebani APBN, bahkan berisiko tarif dasar listrik naik.

Mengulik lebih dalam, aktivis pemberdaya energi Tri Mumpuni melihat RUU EBT hanya mengakomodasi kepentingan bisnis pengusaha teknologi energi hijau. Rakyat justru tidak dapat kesempatan dilibatkan dalam proyek energi bersih tersebut.

Menurutnya, skema pembangunan berbasis masyarakat atau community base development merupakan cara terbaik dalam mengembangkan energi ramah lingkungan. Contohnya, proses pengembangan pembangkit listrik mikrohidro di beberapa daerah di Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tri juga khawatir aneka aturan dan rancangan aturan soal EBT khususnya terkait Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS), berpeluang memicu biaya pokok produksi listrik. “Risikonya dua, tarif listrik naik atau pemerintah bleeding dengan subsidi. Harusnya uang subsidi digunakan untuk mengembangkan EBT khususnya yang berbasis masyarakat. Jadi, negara diuntungkan dan EBT juga tumbuh, rakyat juga menikmat hasilnya,” katanya.

Sementara itu, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim mengatakan,  jangan terburu-buru dalam implementasi EBT karena masih banyak kendala. Seperti komponen pendukung panel surya yang diimpor, regulasi, teknologi, dan sumber daya yang belum dieksplorasi dengan baik.

Herman juga mengakui, sulit mengelakkan RUU EBT terkesan membela kepentingan oligarki dan asing. Beberapa klausul dalam RUU itu memicu tudingan tersebut. Dia juga mendengar sejumlah pihak menduga ada sindikat internasional mencoba menguasai berbagai sektor perekonomian Indonesia, termasuk energi. Caranya dengan membuat regulasi yang sesuai kepentingan mereka. “Soal aturan wajib beli (listrik dari IPP EBT), tidak perlu. Oleh karena itu, perlu perencanaan permintaan dan pasokan. Perlu perizinan pembangunan pembangkit,” ujarnya. 

Menyikapi isu transisi energi ini, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman, mengatakan, bahwa kebijakan transisi energi harus dirumuskan secara bijak untuk menjaga ketahanan energi nasional. 

"Perlu ada aturan yang bijak, proporsional. Misal, kita siapkan apakah masa transisi 5 tahun atau 10 tahun. Jangan kalau nanti misal RUU EBT diketok tahun depan, akhirnya seluruh industri kita dipaksa gunakan EBT. Saya kira tidak mungkin karena masih banyak yang gunakan energi fosil. Perlu penataan, perlu transisi era. Ini yang lagi mau kami bahas di dalam pembahasan RUU EBT," katanya.

Meskipun demikian, Maman mengapresiasi masukan dari berbagai pihak dan berjanji akan melibatkan pengamat/akademisi energi, serta mempertimbangkan masukan dari pihak swasta untuk menyempurnakan RUU tersebut.(*)

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Bamsoet Dukung Kerja Sama Wirausahawan Muda Indonesia-Tiongkok

12 jam lalu

Bamsoet Dukung Kerja Sama Wirausahawan Muda Indonesia-Tiongkok

Bambang Soesatyo mendukung rencana para pengusaha muda China yang tergabung dalam China International Youth Exchange Center dalam membangun kerjasama wirausahawan muda Indonesia - Tiongkok.


Bamsoet Dukung FKPPI Produksi Film Anak Kolong

13 jam lalu

Bamsoet Dukung FKPPI Produksi Film Anak Kolong

Bambang Soesatyo mengungkapkan, keluarga besar FKPPI akan segera memproduksi atau syuting film "Anak Kolong".


150 Pelajar di Kabupaten Sukabumi Mendapatkan Beasiswa

13 jam lalu

150 Pelajar di Kabupaten Sukabumi Mendapatkan Beasiswa

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi memberikan beasiswa kepada 150 pelajar terbaik dari berbagai daerah di wilayahnya.


Suplai Gas yang Merata Dukung Ketersediaan Pupuk Nasional

14 jam lalu

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Haryadi saat memimpin pertemuan dengan PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) di Palembang, Selasa (17/4/2024). Foto: Agung/vel
Suplai Gas yang Merata Dukung Ketersediaan Pupuk Nasional

Bambang Haryadi, mengungkapkan upaya Komisi VII dalam mengatasi tantangan produksi pupuk di Indonesia.


Arsyadjuliandi Desak Pemerintah Segera Selesaikan Pembayaran Lahan Tol

14 jam lalu

Arsyadjuliandi Desak Pemerintah Segera Selesaikan Pembayaran Lahan Tol

Anggota Komisi II DPR RI, Arsyadjuliandi Rachman, mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan pembayaran lahan Tol Pekanbaru-Padang.


Bamsoet Apresiasi KPU Menetapkan Prabowo-Gibran Sebagai Presiden dan Wapres RI

14 jam lalu

Bamsoet Apresiasi KPU Menetapkan Prabowo-Gibran Sebagai Presiden dan Wapres RI

Bambang Soesatyo mengapresiasi kerja keras komisi Pemilihan Umum (KPU) serta mendukung penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pada Pilpres 2024.


Ekspansi Margin Kotor dan Peningkatan Volume, Unilever Indonesia Catat Laba Bersih 1.4 Triliun

14 jam lalu

Ekspansi Margin Kotor dan Peningkatan Volume, Unilever Indonesia Catat Laba Bersih 1.4 Triliun

Unilever Indonesia mengumumkan hasil kinerja kuartal pertama 2024 dengan mencatat peningkatan margin kotor serta pertumbuhan volume dasar yang positif.


Jokowi Memuji Usaha Sambel Nasabah PNM Mekaar Sri Agustin

16 jam lalu

Jokowi Memuji Usaha Sambel Nasabah PNM Mekaar Sri Agustin

Sri Agustin, pemilik merek sambel Wanstin yang dipuji Presiden Jokowi saat menyapa 3.000 nasabah PNM Mekaar di Tangerang Selatan, Senin, 19 Februari 2024.


Semangat Hari Kartini dalam Transformasi Kepemimpinan Perempuan di Jasa Marga

19 jam lalu

Semangat Hari Kartini dalam Transformasi Kepemimpinan Perempuan di Jasa Marga

27 persen perempuan sebagai pimpinan puncak perusahaan.


LPDB-KUMKM Dorong Koperasi Sektor Produktif Akses Dana Bergulir

19 jam lalu

LPDB-KUMKM Dorong Koperasi Sektor Produktif Akses Dana Bergulir

LPDB-KUMKM melakukan penjajakan dengan industri gula nasional.