TEMPO.CO, Jakarta - Mediasi antara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Jambi dengan dua perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), yakni PT Putra Duta Indahwood dan PT Pesona Belantara Persada dalam kasus karhutla gagal mencapai kesepakatan.
“Sampai konfrensi pers belum ada perdamaian. Hakim sudah memanggil dan bersiap melakukan sidang lanjut ke pembacaan gugata. Kami masih menunggu kapan sidang perdana agenda pada pembacaan gugatan,” kata Ramos, Ketua Tim Kuasa Hukum WALHI Jambi dalam konfrensi pers, pada Kamis 29 Juli 2021 seperti dilansir dari Teras.id
Diketahui sebelumnya pihak Walhi telah menggugat kedua perusahaan yang berkedudukan di area gambut, Kabupaten Muaro Jambi tersebut. Walhi menilai kedua perusahaan tersebut menjadi penyumbang kabut asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) terbesar tahun 2019.
Ramos menyebutkan, selama 30 hari mediasi, pihak tergugat memang sudah mengajukan draf perdamaian dengan melakukan itikad pemulihan.
“Kami tidak lanjuti dengan adanya masukan, apakah benar yang mereka lakukan dan turun ke lapangan kami juga melihat kondisi lapangan. Namun hasil pertemuan internal di Walhi belum bisa menerimanya,” ungkap Ramos.
Mengutip dari Jamberita.com partner Teras.id, Ramos menjelaskan, alasan Walhi belum menerima draf perdamaian pihak tergugat. Jika draf perdamaian dengan melakukan pemulihan harus sesuai dengan aturan dan dan disahkan Kementerian LHK dan ada penilaian teknis terhadap apa yang sudah dilakukan.
“Ini yang belum ada. Secara etika kami tidak bisa menyampaikan poin-pinnya secara detail,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Walhi Jambi, Abdullah mengklarifikasi sejumlah tuduhan yang ditujukan kepada mereka, bahwa adanya perdamaian. Ia menyebutkan, draf perdamaian sebenarnya bukanlah draf damai seperti yang dipikirkan orang awam. Terlebih lagi isu bahwa Walhi ingin mengelola dana pemulihan tersebut.
Draf perdamaian ini adalah upaya pemulihan yang dilakukan pihak tergugat terhadap wilayah yang terdampak Karhutla.
“Pemulihan kawasan gambut dengan berbagai cara, ada dari kementrian KLHK, siapa yang memulihkan kan ada lembaga terkait KLHK atau lembaga gambut yang ada saat ini. Sehingga dua konversi yang kita gugat bisa dipulihkan,” jelas Abdullah.
Akan tetapi, dokumen surat rencana pemulihan yang diserahkan oleh perusahaan tidak dikeluarkan oleh KLHK dan terkesan terburu-buru.
“Kita tidak menerima kalau rencana pemulihan itu bukan dikeluarkan oleh KLHK. Kita mau proses pemulihan yang sungguh-sungguh ada,” kata Abdullah.
Karena itu saat ini Walhi Jambi beserta tim kuasa hukum masih menjalani proses mediasi dengan kedua perusahaan.
Selama proses mediasi, Walhi sendiri membuka diri untuk dilakukannya perdamaian selama upaya pemulihan yang dilakukan sesuai aturan dan disahkan KLHK serta dampak pada wilayah tersebut. Namun, sejauh ini Walhi belum melihat draft pemulihan oleh pihak tergugat tersebut.
“Selama dokumen pemulihan sudah sesuai dengan aturan dan disahkan KLHK dan ada penilaian teknis terhadap apa yang dilakukan,” tambahnya.
Abdullah berharap semua pihak mengawal kasus ini. Apalagi saat ini akan memasuki pokok perkara. Ia menyebutkan, dengan dikawalnya kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi pihak-pihak perusahaan untuk meminimalisir terjadinya Karhutla.
Selain menggugat kedua perusahaan yang bergerak di sektor pemanfaatan kayu itu, Walhi Jambi juga turut menggugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Gubernur Jambi.
KLHK dan Gubernur Jambi menjadi turut tergugat dalam kasus karhutla di kawasan gambut ini karena secara kewenangan delegasi dalam UU 32 tahun 2009, mereka diberi kewenangan untuk merestorasi semua kerusakan lingkungan.
WILDA HASANAH
Baca juga: BPPT Kembali Terjunkan Tim TMC Pencegahan Karhutla di Riau