TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim untuk membatalkan penyelenggaraan asesmen nasional selama kondisi masih pandemi Covid-19.
Salah satu pertimbangannya adalah karena masih terdapat ketimpangan digital. "Faktanya sebanyak 20,1 persen siswa dan 22,8 persen guru tak memiliki perangkat TIK, seperti gawai, komputer dan laptop selama pembelajaran jarak jauh (PJJ)," kata Suparno Sastro, anggota Dewan Pakar P2G, dalam keterangannya, Kamis, 29 Juli 2021.
Kemdikbudristek berencana menghelat asesmen nasional 2021 pada September-Oktober 2021. Asesmen nasional ini terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.
Dengan adanya asesmen nasional, Suparno menilai akan menambah ketimpangan menjadi diskriminasi baru bagi siswa. Yakni prasyarat asesmen nasional harus dilaksanakan di tempat yang memiliki akses internet. Realitanya, ada sekitar 120 ribu SD yang belum memiliki perangkat komputer minimal 15 paket, termasuk 46 ribu sekolah yang sama sekali tidak punya akses internet bahkan aliran listrik. Belum ditambah kualitas sinyal internet yang buruk di beberapa wilayah.
Menurut Suparno, potret tersebut ditambah kompetensi guru dalam melaksanakan pedagogi digital yang masih rendah semestinya menjadi fokus pembenahan oleh Kemendikbudristek bersama kementerian lain dan pemerintah daerah. Karena itu, ia berpendapat bahwa pelaksanaan asesmen nasional belum dibutuhkan saat ini.
"P2G berharap ada grand strategy dari Kemendikbudristek untuk mengantisipasi dan menanggulangi semua ini. Jangan sampai berakibat pada bencana demografi yang kita tanggung nanti,” katanya.
Selain itu, asesmen nasional yang tetap dipaksakan di masa pandemi juga diyakini hasilnya berpotensi sama dengan hasil Asesmen Kompetensi Minimum Indonesia dan rapor internasional PISA, bahwa kompetensi siswa Indonesia sangat rendah dalam tiga aspek: Literasi, Numerasi, dan Sains. Hal itu menjadi wajar karena kondisi pembelajaran siswa yang masih tekendala banyak keterbatasan selama PJJ.
Menurut Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri, Survei Karakter dan Lingkungan Belajar juga akan bernasib sama, yaitu guru dan siswa berlomba mengisi survei dengan jawaban yang positif-positif, agar sekolah mereka dilabeli baik bahkan sangat baik oleh Kemendikbudristek.
“Survei Lingkungan Belajar dan Survei Karakter tidak akan memotret secara komprehensif dan otentik ekosistem sekolah. Sepanjang metode yang digunakan Kemdikbudristek itu-itu saja," ujar Imam.
Merujuk pada Permendikbud Nomor 17 Tahun 2021 tentang Asesmen Nasional yang baru terbit, P2G merasa indikator Survei Lingkungan Belajar tidak komprehensif, karena hanya mengambil tiga indikator saja, yaitu indikator keamanan, indikator keberagaman/inklusivitas, dan lkualitas pembelajaran. Padahal, ada delapan Standar Nasional Pendidikan (NSP) yang terdapat dalam UU Sistem Pendidikan Nasional dan aturan turunannya. Mestinya, 8 indikator SNP inilah yang dipotret.
Selain itu, Imam melihat Kemendikbudristek kerap menyebut ujian nasional berbeda dengan asesmen nasional. Juga menyatakan asesmen nasional tak perlu ada persiapan khusus baik oleh siswa, guru, termasuk orang tua. Faktanya, kata Imam, Kemdikbudristek baru merilis ke pihak sekolah berupa daftar 45-50 nama siswa kelas VIII dan XI yang dipilih untuk mengikuti asesmen nasional pada Oktober nanti.
Imam menuturkan, ini strategi yang sangat berbahaya bagi sekolah, khususnya siswa. Tragedi UN dapat kembali terulang jika pola ini tetap dilakukan. Sebanyak 50 siswa yang dipilih mengikuti asesmen nasional ini akan terbebani secara psikologis, sosial, bahkan ekonomi.
Guru akan selalu men-drilling 45-50 anak untuk belajar menjawab kisi-kisi soal asesmen nasional. Energi sekolah, guru, kepala sekolah, pengawas, sampai kepala dinas akan fokus demi hasil asesmen nasonal sekolah yang terbaik. Imam menuturkan, demi nama baik sekolah, yayasan, dan pemda, asesmen nasional akan menjadi ritual menakutkan karena diglorifikasi.
“Wajar saja asesmen nasional dan UN dipersepsikan sama. Nyatanya hanya beda nama, sedangkan esensi dan daya rusaknya terhadap anak dan sistem pendidikan ternyata masih sama saja,” kata dia.
FRISKI RIANA
Baca: Jadwal Asesmen Nasional 2021 Mundur, Nadiem Sebut 10 Hal yang Harus Diketahui