TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin, menilai gaya blusukan Presiden Joko Widodo tak efektif dilakukan di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Ia menyoroti dua blusukan Jokowi belakangan, yakni membagikan obat dan mengecek ketersediaan obat di apotek.
"Gaya blusukan sudah tak efektif lagi, karena ini bukan saatnya kampanye," kata Ujang ketika dihubungi, Ahad, 25 Juli 2021.
Ujang mengatakan gaya blusukan memang masih diperlukan, misalnya untuk memastikan kondisi nyata di lapangan. Namun, ia mengingatkan bahwa blusukan tak akan menyelesaikan persoalan.
Dia mencontohkan tindakan Jokowi menelepon Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin karena kosongnya stok obat di apotek yang didatangi. Menurut Ujang, mungkin saja masalah di apotek tersebut akan selesai, tetapi tak menyelesaikan kelangkaan obat di banyak daerah di Indonesia.
"Carut marut penanganan pandemi juga tak akan bisa teratasi hanya dengan blusukan, dan blusukan saat ini bagi rakyat terkesan pencitraan," ujarnya.
Alih-alih blusukan, kata Ujang, Jokowi mestinya mengambil langkah kebijakan yang jelas dan tegas untuk penanganan pandemi Covid-19. "Jangan sampai rakyat menilai blusukan Jokowi tersebut untuk menutupi banyak persoalan menangani Covid-19," kata Ujang.
Presiden Jokowi blusukan ke apotek di Bogor, Jawa Barat, untuk mengecek ketersediaan obat antivirus pada Jumat lalu, 23 Juli 2021. Beberapa yang ditanyakan Jokowi yakni oseltamivir, favipiravir, vitamin D3 5000IU, multivitamin yang mengandung Zinc, dan Becom-Zet. Mendapati stok obat-obatan yang dia cari kosong, Jokowi menelepon Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, juga mengkritik langkah blusukan itu lantaran dinilai tak mendidik masyarakat. Pandu mengatakan obat-obat yang dicari Presiden adalah obat keras yang tak boleh dikonsumsi tanpa resep dokter.
"Itu enggak boleh, tidak mendidik publik untuk jangan melakukan pengobatan sendiri, itu obat keras," kata Pandu kepada Tempo, Sabtu, 24 Juli 2021.