TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim mengecam penyebaran seruan untuk tidak membaca, mengunggah, dan membagikan berita Covid-19.
Sasmito menilai, ajakan tersebut dapat membahayakan keselamatan publik. “Seruan ini berpotensi membuat publik tidak mendapatkan informasi yang tepat,” kata Sasmito dalam keterangannya, Sabtu, 17 Juli 2021.
AJI menemukan seruan tersebut disampaikan melalui poster digital dan teks tertulis. Setidaknya terdapat 9 poster digital dengan desain yang mirip dan mengatasnamakan Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Purbalingga, Banyumas, Semarang, Yogyakarta, Majalengka, dan Cirebon. Seruan dalam bentuk tertulis dengan pesan serupa juga menyebar melalui grup-grup WhatsApp.
Sasmito melihat ada kesamaan pesan agar masyarakat tidak membaca, mengikuti informasi dan berita tentang Covid-19 di media, karena dianggap bisa mengganggu imun. Belum diketahui siapa yang menjadi otak di balik penyebaran poster digital dan teks tertulis tersebut. “Tapi temuan jurnalis di beberapa kota, pesan ini awalnya justru disebarkan oleh pejabat dan aparat setempat,” ujarnya.
AJI menilai, hal ini merupakan bagian dari propaganda keliru yang bisa membahayakan keselamatan publik. Sebab, ajakan tersebut disampaikan di saat wabah terjadi meluas dan menyebabkan warga sulit mendapatkan layanan fasilitas kesehatan yang sudah penuh pasien.
Baca Juga:
AJI melihat, seruan itu juga dianggap merupakan bentuk pelecehan terhadap jurnalis dan karya jurnalistik karena dinilai sebagai penyebab turunnya imun seseorang dalam situasi pandemi.
Menurut Sasmito, jurnalis profesional dalam bekerja selalu mematuhi Kode Etik Jurnalistik. Jika ada masyarakat yang merasa dirugikan pemberitaan, maka mereka bisa meminta hak jawab dan hak koreksi, serta melapor ke Dewan Pers.
AJI, kata Sasmito, melihat seruan tersebut juga sengaja dipropagandakan untuk membungkam upaya kritis media dalam memberitakan fakta-fakta mengenai pandemi dan penanganannya di Indonesia. “Karena itu pemerintah, terutama Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu meluruskan mengenai hal ini,” kata dia.
Sasmito juga meminta Dewan Pers segera menyikapi serangan-serangan terhadap jurnalis dan pers nasional dalam pandemi yang semakin masif dan mengancam kebebasan pers.
Selain itu, ajakan menghentikan menyebar berita Covid-19, kata Sasmito, bisa menyebabkan masyarakat terjebak pada rasa aman palsu (toxic positivity), yang justru akan membuat mereka abai dengan protokol kesehatan. Padahal, informasi yang akurat mengenai skala penularan dan dampak dari pandemi ini justru dibutuhkan warga untuk membangun kesiapsiagaan.
Baca juga: 65 Persen Informasi Anti-Vaksin Covid-19 di Amerika Digarap 12 Orang