TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, sekitar 40 peserta massa aksi menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua (RUU Otsus Papua) di depan Dewan Perwakilan Rakyat ditangkap polisi pada Kamis, 15 Juli 2021. Usman mengatakan, mereka dibawa ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.
"Pengunjuk rasa yang melakukan demonstrasi di depan gedung DPR RI dibubarkan oleh aparat dan setidaknya 40 orang dari massa aksi ditangkap dan dibawa ke kantor Polda Metro Jawa," kata Usman dalam keterangan tertulis, Kamis, 15 Juli 2021.
Usman Hamid menyesalkan reaksi aparat yang merespons penolakan RUU Otsus Papua dengan kekerasan dan kekuatan berlebihan. Ia berujar, pada Rabu kemarin, 14 Juli 2021, juga terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan mahasiswa Universitas Cenderawasih yang menggelar aksi di Jayapura, Papua.
"Empat mahasiswa terluka setelah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan. Setidaknya 23 mahasiswa lainnya ditangkap," ucap dia.
Aksi-aksi yang digelar pada 2020 lalu pun mengalami respons serupa dari aparat. Usman mengatakan, pada September 2020, dua pengunjuk rasa terluka diduga akibat pukulan polisi di bagian belakang kepala dan dada. Lalu dalam demonstrasi lain di Kendari, Sulawesi Tenggara, polisi menggunakan helikopter yang terbang rendah untuk memaksa pengunjuk rasa membubarkan diri.
Usman mengatakan, bahkan diskusi publik tentang otonomi khusus pun disambut dengan represi. Misalnya ketika Majelis Rakyat Papua berusaha mengadakan pertemuan publik tentang implementasi otsus di Merauke pada November 2020.
"Dua anggota MRP dan stafnya ditangkap atas tuduhan makar. Mereka akhirnya dibebaskan tanpa dituntut," ujar Usman.
Pemerintah dan DPR mengesahkan RUU Otsus Papua menjadi undang-undang dalam rapat paripurna Dewan hari ini. Pemerintah dan DPR mengklaim pembahasan RUU Otsus sudah melibatkan pelbagai pihak dan pemangku kepentingan di Papua.