TEMPO.CO, Jakarta - Pegiat hak asasi manusia, Veronica Koman, mengatakan revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua minim partisipasi publik, bahkan cenderung dibahas di ruang tertutup. Salah satu indikasinya, kata dia, adalah Majelis Rakyat Papua yang tak dilibatkan.
"Betul-betul pemaksaan RUU Otsus ini seperti sirkus, cuma untuk secara formalitas tanpa melibatkan orang Papua," kata Veronica, Rabu, 14 Juli 2021.
Veronica mengatakan Undang-undang otonomi khusus sebenarnya mengharuskan pelibatan MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua saat membahas revisi. Nyatanya, kedua badan ini tak dilibatkan.
Veronica menyebut kedua badan itu malah tak diikutkan dalam pembahasan. Ia mengatakan MRP malah dihalangi ketika hendak mengevaluasi pelaksanaan otonomi khusus melalui rapat dengar pendapat dengan masyarakat Papua. Pada November 2020 lalu, sebanyak 54 orang anggota MRP ditangkap dengan tuduhan makar ketika hendak RDP.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah menyepakati RUU Otsus Papua pada Senin lalu, 12 Juli 2021. RUU usulan pemerintah ini pun akan disahkan dalam rapat paripurna DPR pada hari ini, Kamis, 15 Juli 2021.
Ia juga menyoroti pernyataan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam Rapat Kerja dengan Panitia Khusus RUU Otsus Papua pada 27 Mei lalu. Menurut Veronica, dalam rapat itu BIN menempatkan MRP sebagai pendukung kelompok pro-kemerdekaan Papua.
Padahal, kata dia, Majelis Rakyat Papua jelas-jelas merupakan produk otonomi khusus. "Ya sudah kan, persis seperti yang dibilang orang Papua selama ini bahwa otsus itu gagal. Toh produknya saja sudah diakui oleh negara sebagai gagal. Jadi ini kayak sirkus," ujarnya.
Veronica Koman menuturkan, dalam praktiknya otonomi khusus sama sekali tidak memberikan kemandirian untuk masyarakat Papua. Ia menilai revisi ini lebih vulgar lagi. "Otsus tinggal nama. Otsus Papua itu dari Jakarta untuk Jakarta," ujarnya.
Baca juga: Veronica Koman Sebut BIN Tak Kompeten Hanya Suka Cari Kambing Hitam