INFO NASIONAL – Nelayan tradisional kerap berkonflik dengan nelayan besar di wilayah perairan kurang dari 12 mil. Nelayan sering berkonflik dengan kapal-kapal besar yang menangka pikan menggunakan alat-alat yang merusak ekosistem laut. Termasuk alat tangkap serupa cantrang versi kecil di bawah 10 gross ton.
Cantrang merupakan alat penangkapan ikan yang bersifat aktif, dengan pengoperasian menyentuh dasar perairan. Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP sejak 2015 telah melarang penggunaan cantrang karena ditengarai menjadi salah satu penyebab penangkapan ikan berlebih (overfished). Saat stok ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 yang berada di Pulau Jawa berkurang atau menipis, nelayan pun beralih mencari ikan ke WPP yang lain misalnya ke WPP 711, yang merupakan daerah Natuna.
Menagih Hak Daerah dalam Tata Kelola Perikanan WPP
Dalam pandangan kelompok nelayan, kebijakan pelarangan cantrang yang sempat dicabut dan kembali diberlakukan, belum sepenuhnya dilaksanakan di semua daerah. “Kami melihat belum ada ketegasan tindakan terhadap kapal-kapal besar yang melanggar aturan. Pembiaran tersebut merugikan nelayan tradisional, termasuk nelayan perempuan,” ujar Sekjen Persaudaraan Nelayan Perempuan Indonesia (PNPI), Masnuah.
Dari pengalaman para nelayan sehari-hari, maka tata kelola Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) menjadi sebuah keharusan. Begitu pula sinergi dalam multistakeholder diperlukan dalam membangun tatakelola WPP yang diatur dalam Keputusan Menteri KP No 18 Tahun 2014. Sebagai negara yang memiliki 17.504 pulau, potensi ekonomi kelautan Indonesia sangat besar yakni mencapai 1.338 miliar dolar AS per tahun berdasarkan data Estimasi KKP tahun 2020.
Keberadaan WPP diharapkan dapat mengoptimalkan potensi tersebut. WPP mencakup wilayah untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia.Dari total 11 WPP yang dimiliki Indonesia, potensi perikanan di laut mencapai 12,54 juta ton per tahun. “Tapi produksi kita baru 7 juta ton per tahun untuk laut dan 566 ribu di perairan daratan,” ujar Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia, KKP, Sjarief Widjaja.
Menagih Hak Daerah dalam Tata Kelola Perikanan WPP
Kalangan pengusaha menilai penerapan kebijakan KKP mengelola potensi kelautan melalui WPP memerlukan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Alasannya sekitar 10 persen perizinan armada penangkapan berasal dari pusat sedangkan 90 persen membutuhkan izin pemerintah daerah.
Selain itu ke-11 WPP memiliki karakteristik berbeda. Misalnya WPP 715 ditetapkan sebagai lumbung ikan nasional dengan prioritas utama ikan cakalang. Untuk pengelolaan setiap WPP, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu memiliki persepsi dan pandangan yang sama.
Di banyak daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten terkesan membolehkan masyarakat setempat menanam rumpon sebanyak-banyaknya agar masyarakat mendapatkan income. Sedangkan pemerintah pusat telah mengatur pemasangan rumpon agar tidak terlalu banyak. “Ini yang menjadikan tatakelola WPP menjadi penting. Permasalahan dalam penerapan WPP selama ini, tidak lepas dari pembagian hak untuk daerah,“ kata Ketua Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia, (AP2HI) Janti Djuari.
Menagih Hak Daerah dalam Tata Kelola Perikanan WPP
Janti menuturkan wilayah perairan di Provinsi Maluku dan Maluku yang memiliki potensi perikanan besar seharusnya dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah. Namun dalam kenyataannya banyak kapal yang menangkap ikan di perairan wilayah Maluku, tapi melakukan pembongkaran di Pulau Jawa. Akibatnya ikan-ikan hasil tangkapan di Pulau Maluku itu dimasukan sebagai pendapatan di Jawa. Padahal, setiap daerah memiliki hak untuk menarik retribusi daerah.
“Perlu transparansi dan komitmen dari pusat dan daerah. Bila WPP hendak diterapkan tentu daerah juga harus memiliki hak. Setiap pungutan dari perikanan akan menjadi hak daerah. Dengan demikian daerah memiliki satu garansi hasil penangkapan di daerah tersebut akan kembali ke APBD-nya,” ujarnya.
Menagih Hak Daerah dalam Tata Kelola Perikanan WPP
Dengan cara seperti itu, daerah akan lebih terbuka untuk mengelola perikanan secara bersama-sama. Apalagi keberadaan WPP dapat mendukung pembangunan ekonomi dari hulu hingga hilir. Untuk membangun sektor perikanan keberlanjutan, AP2HI dan beberapa lembaga membentuk Komite Perbaikan Perikanan Bersama yang melibatkan pemerintah pusat, daerah, akademisi, nelayan dan pelaku usaha.
Kebijakan WPP merupakan cara formal pemerintah untuk menentukan wilayah pengelolaan termasuk sumber alam yang ada di dalamnya namun ada beberapa hal penting yang belum diatur. “Penetapan WPP sudah lama, tetapi penerapan berapa besar jumlah armada yang bisa beroperasi di wilayah tersebut, belum ada. Batasan ikan seperti apa yang boleh dan tidak boleh ditangkap juga tidak didefinisikan. Jadi, baru akan dilakukan,” kata peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dedy Andhury.
Menagih Hak Daerah dalam Tata Kelola Perikanan WPP
Dedy menilai, sejatinya WPP merupakan bentuk pengelolaan perikanan yang bagus namun belum ada kejelasan siapa pihak yang bertanggungjawab mengelolanya dan juga tidak ada kejelasan pihak-pihak yang menjadi multistakeholders. Selain itu juga WPP belum mengatur posisi keberadaan komunitas. “Bila dalam WPP berplatform multistakeholders, posisi masyarakat komunitas masih seperti yang lama, masalah yang dihadapi tidak akan bisa diatasi,” ujarnya.
WPP saat ini masih “berjalan di tempat” karena pemerintah pusat baru mengatur tentang WPP secara garis besar tapi belum mengatur secara detail terkait pengelolaan perikanan setiap WPP. Begitu pula izin pengelolaan WPP sebaiknya dikeluarkan pengelola WPP atau oleh lembaga atau sistem yang mengoordinasi kewenangan pemda dan pengelola WPP. “Agar WPP berjalan optimal, perlu dibangun komunikasi yang ideal,” kata Dedy. (*)