TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Kesehatan mengkhawatirkan ada perburuan keuntungan di balik program vaksin gotong royong individu alias vaksin berbayar. Program ini diduga diusulkan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN). Meski diprotes berbagai pihak, hingga saat ini belum ada gelagat pemerintah untuk membatalkan program tersebut.
"Kami semakin khawatir bahwa ada perburuan rente dalam arah menuju vaksin berbayar ini. Jadi ada kelompok-kelompok yang memang mau mengambil keuntungan," kata perwakilan koalisi, Muhammad Isnur, ketika dihubungi, Rabu, 14 Juli 2021.
Isnur mencontohkan praktik perburuan rente di balik sejumlah kebijakan negara belakangan ini, seperti ekspor benur dan bantuan sosial. Dua kebijakan itu belakangan menyeret dua menteri dalam perkara dugaan korupsi yang saat ini sedang berproses di pengadilan. "Kita tahu di dua kebijakan terakhir, ekspor benur dan bansos di sana ada terbukti korupsinya. Di sini kami khawatir ada dugaan yang sama," ujar Isnur.
Isnur mengatakan, kebijakan vaksin berbayar ini berpotensi membuka keran perburuan keuntungan. Jika satu pihak mendapatkan program tersebut, bisa jadi pihak lainnya meminta jatah yang sama.
Menurut Isnur, hal tersebut berpotensi membuat program vaksinasi Covid-19 menjadi ajang jualan dan kompetisi dagang. Dia mengingatkan praktik tersebut akan sangat membahayakan kesehatan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 saat ini.
"Makanya sangat penting kemudian kita batalkan kebijakan vaksin berbayar itu. Kita tidak bisa biarkan vaksin yang merupakan barang publik menjadi komoditas dagang," kata Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini.
Perwakilan Koalisi dari Lapor Covid-19, Amanda Tan, menyebut sejak awal KPC-PEN condong berorientasi pada persoalan ekonomi ketimbang kesehatan. Ia pun menilai usulan vaksinasi berbayar ini kian meneguhkan anggapan bahwa pemerintah lebih menitikberatkan ekonomi daripada kesehatan dalam penanganan pandemi.
"KPC-PEN dibentuk untuk mengimbangi public health dan economy recovery, tapi dalam perjalanannya lebih mengedepankan ekonomi," kata Amanda.
Amanda mencontohkan beberapa kebijakan sebelum terjadinya ledakan kasus akibat varian delta dari India. Seperti penambahan jam operasional pusat perbelanjaan yang tentu berdampak pada mobilitas warga, hingga tetap berjalannya proyek-proyek besar yang mendatangkan tenaga kerja asing (TKA).
"Kita tidak tahu isolasi mandiri mereka seperti apa, tetapi itu kan memberikan risiko besar bagi kita," kata Amanda.
Menurut Amanda, Badan Usaha Milik Negara mestinya diminta untuk membantu peningkatan pengetesan (testing) dan pelacakan kontak (tracing) ketimbang menjadi penyelenggara vaksin berbayar.
Ia menyebut pelibatan BUMN besar untuk vaksin berbayar atau vaksin gotong royong individu jelas-jelas menunjukkan kentalnya aspek ekonomi dalam pengendalian wabah. "Kalau BUMN punya sumber daya kenapa tidak digunakan untuk meningkatkan tracing, testing, peningkatan kapasitas rumah sakit, dan sebagainya," ujarnya.
Baca juga: Epidemiolog Sebut Airlangga dan Erick Thohir Dalang Gagasan Vaksin Berbayar