TEMPO.CO, Jakarta - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendukung program vaksinasi Covid-19 yang dilakukan pemerintah. Namun, KSPI menolak program vaksin Covid-19 berbayar, baik melalui vaksin gotong royong maupun vaksinasi individu berbayar lantaran dinilai berpotensi menimbulkan komersialisasi.
"Jika ini dilanjutkan, patut diduga akan terjadi komersialisasi yang hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Senin, 12 Juli 2021.
Iqbal mengatakan setiap transaksi jual beli dalam proses ekonomi berpotensi menyebabkan terjadinya komersialisasi oleh produsen yang memproduksi vaksin dan pemerintah sebagai pembuat regulasi terhadap konsumen, yakni rakyat. Menurut dia, dikhawatirkan akan terjadi pengendalian harga oleh produsen atau pembuat vaksin.
Iqbal berkaca pada program rapid test Covid-19. Ia menilai mekanisme harga rapid test itu cenderung mengikuti hukum pasar. Pemerintah awalnya menggratiskan program rapid test, tetapi belakangan tes tersebut menjadi memberatkan.
"Bahkan perusahaan yang awalnya menggratiskan rapid test bagi buruh di tempat kerja masing-masing, akhirnya setiap buruh harus melakukannya secara mandiri," kata Iqbal.
Iqbal melanjutkan, tak menutup kemungkinan pula program vaksin gotong royong dan vaksin Covid-19 berbayar akan mengikuti pola yang sama. Yakni dari yang awalnya dibiayai perusahaan menjadi dibebankan kepada buruh. "Berarti hak sehat untuk rakyat telah diabaikan oleh negara karena vaksinasi tidak lagi dibiayai pemerintah," ujarnya.
Iqbal mengatakan kemampuan keuangan tiap-tiap perusahaan dan individu pun berbeda. Ia memperkirakan hanya 10 persen perusahaan di Indonesia yang mampu membayar vaksin Covid-19 gotong royong. Ini hanya mencakup 20 persen pekerja dari total pekerja yang ada di Indonesia.
Ujungnya, lanjut Said Iqbal, akan keluar kebijakan pemerintah bahwa setiap pekerja harus membayar sendiri biaya vaksin gotong royong. Dia pun mempertanyakan pertanggungjawaban Kamar Dagang dan Industri (Kadin) serta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang awalnya menjadi pengusul vaksin gotong royong tersebut.
"Jika ini terjadi apakah Kadin dan Apindo akan ikut bertanggung jawab? Jangan membuat kebijakan yang manis di depan tapi pahit di belakang bagi buruh Indonesia," ucapnya.
Iqbal mengatakan jumlah buruh Indonesia mencapai 130 juta. Jika ditambah keluarganya, maka jumlahnya mendekati angka 200-an juta orang. Dengan harga Rp 800 ribu, artinya perlu Rp 104 triliun untuk membiayai vaksin gotong royong. "Jadi ini hanya proyek lip service yang hanya manis di retorika atau pemanis bibir tetapi sulit diimplementasikan di tingkat pelaksanaan," kata Presiden KSPI Iqbal.
Kementerian Kesehatan sebelumnya menerbitkan Peraturan Menkes Nomor 19 Tahun 2021 yang mengubah aturan ihwal vaksinasi mandiri. Dalam Permenkes 10 Tahun 2021, badan hukum/badan usaha dapat melaksanakan Vaksinasi Gotong Royong untuk individu/orang perorangan.
Namun dalam aturan anyar ini, pelaksanaan vaksinasi kepada individu/orang perorangan yang anggarannya dibebankan kepada yang bersangkutan atau menjadi program vaksin Covid-19 berbayar.
Baca juga: Kecolongan Vaksin Covid-19 Berbayar, DPR Panggil Kemenkes dan Kimia Farma
BUDIARTI UTAMI PUTRI