TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Penasihat Kaukus untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herlambang P Wiratraman mengatakan represi terhadap mahasiswa cenderung meningkat sejak 2019 atau di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Herlambang mengatakan, tren ini naik seiring dengan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan UU Cipta Kerja.
Misalnya, banyak terjadi pembubaran diskusi, peretasan, dan penangkapan terhadap mereka yang dituduh anarko. "Makin ofensif sejak Presiden Jokowi periode kedua," kata Herlambang kepada Tempo, Kamis, 8 Juli 2021.
Dosen hukum tata negara Universitas Airlangga ini mengatakan, pelbagai pembungkaman dan kekerasan datang dari pelbagai pihak. Mulai dari internal kampus, aparat hukum, hingga preman. Menurut Herlambang, kampus pun cenderung diam jika mahasiswa mereka mengalami pembungkaman atau tekanan dari pihak lain.
Ia menilai, hal ini menandakan bahwa kampus kian kurang membentengi diri untuk menjaga pemikiran kritis di lingkungan akademik.
"Walaupun tekanannya dari penegak hukum atau preman, kampus diam saja. Malah kadang ikut memberi jalan. Kami melihat kampus makin jarang membentengi diri sebagai upaya menjaga pemikiran kritis bagi civitasnya," kata Herlambang.
Beberapa represi yang dialami mahasiswa misalnya tindakan kekerasan aparat saat aksi demonstrasi menolak revisi UU KPK dan sejumlah RUU bermasalah pada 2019, beberapa saat menjelang periode kedua Presiden Jokowi. Lima orang mahasiswa dan pelajar meninggal akibat tertembak atau luka parah karena kekerasan aparat.
Represi aparat pun berulang saat aksi menolak UU Cipta Kerja pada 2020. Ketika itu, polisi bahkan menangkapi massa aksi yang masih dalam perjalanan menuju lokasi demonstrasi.
Tekanan juga datang dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui kampus. Kementerian kala itu mengeluarkan edaran agar kampus meminta mahasiswa mereka tak ikut demonstrasi.
Selain itu, beberapa mahasiswa dan dosen pun mengalami intimidasi karena menggelar diskusi. Misalnya diskusi ihwal pemberhentian presiden yang digelar Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, diskusi soal rasisme di Papua yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, dan diskusi mahasiswa Universitas Negeri Lampung--masih soal Papua.
Para penyelenggara maupun pembicara diskusi menerima pesan-pesan bernada ancaman, peretasan pada aplikasi pesan makanan secara online, hingga peretasan pada aplikasi perpesanan mereka.
Belakangan ini, BEM UI juga kembali menerima tekanan dari kampus lantaran unggahan yang menyebut Presiden Jokowi sebagai The King of Lip Service. Teranyar, giliran BEM Unnes ditekan pihak Rektorat lantaran menjuluki Wakil Presiden Ma'ruf Amin sebagai The King of Silent dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan sebagai The Queen of Ghosting.
"Apa yang terjadi di UI maupun BEM KM Unnes ini merefleksi kondisi demokrasi di Indonesia yang menurun kualitasnya," kata Herlambang Wiratraman.