TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai pemerintah ingin memusatkan kekuasaan lewat revisi Undang-Undang Otonomi Khusus atau RUU Otsus Papua. Dalam konteks demokrasi, Usman menilai hal ini bukan lagi sebuah kemunduran, tetapi pembalikan.
"Yang terjadi sekarang adalah usaha untuk membalik desentralisasi kekuasaan melalui otonomi khusus," kata Usman dalam diskusi virtual "Rendahnya Tingkat Kebebasan Sipil di Papua dan Inkonsistensi Otonomi Khusus", Ahad, 4 Juli 2021.
Usman mengatakan, otonomi khusus Papua adalah esensi dari desentralisasi atau penyebaran kekuasaan dari pemerintah pusat. Namun, lewat Rancangan Undang-Undang Otsus Papua yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat sekarang, kata Usman, pemerintah justru ingin melakukan pemusatan kekuasaan.
Ia menyoroti dua pasal yang diajukan pemerintah untuk direvisi, yakni Pasal 34 dan Pasal 76 dari UU Nomor 21 Tahun 2001 tersebut. Pasal 34 mengatur ihwal besaran dana otsus yang akan dinaikkan dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari dana alokasi umum (DAU).
Menurut Usman, kenaikan dana itu hanya terlihat sekilas saja. Namun secara rinci, hanya 1 dari 2,25 persen itu yang akan diberikan dalam bentuk block grant. Sedangkan 1,25 persen sisanya bersifat specific earmark, atau akan diberikan jika pemerintah pusat menilai kinerja pengelolaan dana otsus di Papua sudah lebih baik.
Pemerintah berdalih perubahan skema ini lantaran adanya masalah tata kelola dana otsus di Papua. Usman pun tak menampik hal ini. Kendati begitu, dia mengingatkan, persoalan serupa juga terjadi di provinsi lain.
Usman menyitir data Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa ada sejumlah wilayah yang tata kelola keuangan daerahnya tak berjalan dengan baik dan berujung pada problem korupsi. Namun, ia menilai jalan keluar masalah itu ialah perbaikan dan pengawasan, bukan pengambilalihan kewenangan.
"Cara itu saja sudah bertentangan dengan otonomi khusus yang ingin mempercayakan sepenuhnya kepada otoritas politik atau representasi kultural di Papua," ujar mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ini.
Selain Pasal 34, usulan revisi berikutnya yakni Pasal 76 mengenai kewenangan pemekaran wilayah. Dalam aturan yang berlaku saat ini, pemekaran wilayah dilakukan berdasarkan aspirasi rakyat Papua melalui Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua.
Usman mengatakan ketentuan ihwal pemekaran ini pernah dilanggar sebelumnya di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Ketika itu, pemerintah pusat membentuk Provinsi Irian Jaya Barat dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003.
Adapun dalam draf RUU Otsus Papua, pemerintah pusat ingin memiliki kewenangan untuk mengusulkan pemekaran wilayah di Papua. Menurut Usman, ini semakin menunjukkan inkonsistensi pemerintah pusat dalam melaksanakan UU Otsus Papua.
Baca juga: PGI Minta Pemerintah Libatkan Gereja dan MRP Bahas Otsus Papua