TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Direktur Public Virtue Research Institute, Anita Wahid menyoroti demokrasi di Papua dan penerapan otonomi khusus yang sudah berlangsung selama 20 tahun. Menurut Anita, otonomi khusus di Papua tidak diimplementasikan sesuai semangat awalnya.
Putri Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini mengatakan, Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dibuat melalui dialog yang cukup intens dan memakan waktu. Dia menyampaikan, kesediaan berdialog itulah yang membedakan Gus Dur dan presiden Indonesia lainnya.
"Kalau melihat bagaimana Gus Dur berdialog dengan orang-orang Papua saat itu, sangat berbeda dengan pendahulunya maupun yang setelahnya," kata Anita dalam diskusi "Rendahnya Tingkat Kebebasan Sipil di Papua dan Inkonsistensi Otonomi Khusus", Ahad, 4 Juli 2021.
Menurut Anita, perbedaan paling mendasar Gus Dur dan pemimpin Indonesia lainnya adalah kemauan berdialog langsung dengan masyarakat Papua tanpa melalui pihak ketiga. Gus Dur pun tak hanya berdialog dengan satu atau beberapa kelompok tertentu.
"Gus Dur mengakui memang ada perbedaan-perbedaan kelompok, keinginan, perasaan, dan pandangan di dalam masyarakat Papua sehingga semua wajib didengar," kata Anita.
Anita menyebut, ada pendahulu Gus Dur yang pernah menawarkan bertemu dengan 100 orang perwakilan dari Papua. Namun, ada syarat yang ditetapkan, yakni perjanjian untuk hanya berbicara mengenai pembangunan dan tak menyinggung keinginan merdeka dari Indonesia.
Adapun pemimpin setelah Gus Dur, kata Anita, hanya mau berbicara dengan kelompok atau orang-orang Papua tertentu saja. Kelompok yang prokemerdekaan tidak diajak berdialog, bahkan dicap sebagai pengkhianat.
Anita mengatakan Gus Dur mendapatkan banyak masukan ketika berdialog dengan pelbagai kelompok yang ada di Papua sehingga tercapai konsensus ihwal otonomi khusus. Di sisi lain, ia mengakui masih ada kelompok yang merasa tak terwakili oleh otonomi khusus ini.
Namun, kata Anita, hal tersebut mestinya bisa dijembatani dengan membuat mekanisme implementasi dari pasal-pasal yang ada di Undang-Undang Otonomi Khusus. "Itu satu hal yang tidak terjadi setelah lengsernya Gus Dur," ujar Anita.
Selain itu, Anita menilai berlakunya otonomi khusus tak menyentuh aspek penghormatan terhadap kemanusiaan. Ia mengingatkan bahwa sejarah orang Papua penuh luka lantaran adanya perampasan terhadap martabat hidup mereka.
Anita mencontohkan ihwal orang Papua yang tak terlibat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pengelolaan kekayaan alam mereka, tidak adanya perlindungan lembaga adat, dan sebagainya. Dia berujar, tak adanya keadilan ini akan mempersulit terwujudnya perdamaian di tanah Papua.
"Perdamaian tanpa keadilan itu ilusi. Mau kasih infrastruktur, kucuran uang ke Papua, tapi tidak mengimplementasikan keadilan, maka perdamaian itu semu dan sewaktu-waktu bisa meledak," kata Anita Wahid.
Baca juga: MRP Minta Pemerintah Revisi UU Otsus Papua Menyeluruh