TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung tengah menyidik kasus dugaan korupsi dalam pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
"Berdasarkan laporan keuangan per-31 Desember 2019, LPEI mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp 4,7 triliun di mana jumlah kerugian tersebut dikarenakan pembentukan cadangan kerugian penuruan nilai (CKPN)," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezen Simanjuntak melalui keterangan tertulis pada Kamis, 1 Juli 2021.
Leonard menjelaskan, LPEI diduga memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur, tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik. Ini berdampak pada meningkatnya kredit macet atau non performing loan (NPL) pada 2019 sebesar 23,39 persen.
Selanjutnya berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74 persen dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN ini untuk mencover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan diantaranya disebabkan oleh ke-9 debitur.
"Pihak LPEI yaitu tim pengusul, Kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI," kata Leonard.
Akibatnya, sejumlah debitur mengalami gagal bayar sebesar Rp 683 miliar.