TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis laporan terkait situasi dan kondisi praktik penyiksaan di Indonesia selama setahun terakhir. Dari temuan mereka, setidaknya ditemukan 80 kasus penyiksaan, perlakuan atau penghukuman kejam tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, sepanjang periode Juni 2020 hingga Mei 2021.
"Ini mungkin masih ada kasus-kasus lain yang tidak terungkap di media. Kami menduga masih ada kasus yang jauh lebih besar dari yang kami temukan," kata Peneliti KontraS Rozy Brilian, dalam konferensi pers daring, Jumat, 25 Juni 2021.
Dari 80 kasus itu, mereka mencatat ada total 182 korban. 166 di antaranya mengalami luka dan 16 lainnya adalah korban tewas. Aceh menjadi daerah dengan jumlah kasus terbanyak dengan 34 kasus. Kasus terbanyak di sana adalah penghukuman kejam. Daerah lainnya dengan kasus terbanyak ada di Papua 7 kasus, dan Sumatera Utara 5 kasus.
Rozy mengatakan dari temuan KontraS, pelaku penyiksaan terbanyak masih didominasi oleh aparat kepolisian. Hal ini sama dengan temuan KontraS sejak tahun-tahun sebelumnya.
"Kepolisian masih menjadi aktor utama dalam kasus penyiksaan dengan 36 kasus," kata Rozy.
Pelaku lainnya adalah Kejaksaan dengan 34 kasus, dan aparat militer sebanyak 7 kasus, dan sipir 3 kasus.
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mengatakan pola berulang dalam penyiksaan ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama adalah tak ada pengawasan yang secara ketat dan menyasar pada akar masalah. Hal ini kemudian didukung oleh pembiaran oleh atasan.
"Kebanyakan praktik ini digunakan oleh aparat kepolisian itu untuk memperoleh pengakuan dari tersangka atau terduga pelaku," kata Fatia.
Apalagi, Fatia mengatakan saat ini di Undang-Undang KUHP saat ini tak ada definisi terkait penyiksaan. Hukum juga tak mencangkup jeratan bagi dalang dari pelaku atau chain of commands.
"Jadi yang biasanya dihukum atau dimutasi atau mendapat efek dari tindakan penyiksaan hanya terhadap eksekutornya saja," kata Fatia.