TEMPO.CO, Jakarta - Sudah lebih dari setengah abad, tepatnya pada 21 Juni 1970 silam, Kusno Sosrodihardjo atau yang kemudian dikenal dengan nama Sukarno, menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta pada usia 69 tahun.
Menurut beberapa sumber, presiden pertama Indonesia itu telah memiliki penyakit tekanan darah tinggi dan penyakit ginjal selama lima tahun terakhir. Bahkan sebelumnya, pada 1961 dan 1964, Sang Proklamator pernah dirawat di Wina, Austria karena penyakit gagal ginjal yang dideritanya.
Kondisinya semakin memburuk, terlebih ketika sudah tidak menjabat sebagai presiden. Sebelum tutup usia, Sukarno sempat mengalami koma pada pukul 3:50 dan tutup usia pada pukul 07.00.
Mengenai kondisi kesehatan rutin hingga wafatnya Sukarno, Mahar Mardjono selaku ketua tim dokter kepresidenan melaporkan melalui komunike medis. Isi dari laporan tersebut adalah, (1) Pada 20 Juni 1970, pukul 20.30 WIB, Ir Sukarno mengalami penurunan kesehatan dan semakin memburuk, (2) Pukul 03.50 WIB pagi tanggal 21 Juni 1970, Soekarno tidak sadarkan diri hingga akhirnya pada pukul 07.00 WIB dinyatakan meninggal dunia, (3) Tim dokter berusaha untuk mengatasi kritis yang dialami Soekarno secara terus menerus hingga Soekarno menghembuskan nafas terakhir.
Setelah dinyatakan wafat, Ratna Sari Dewi, istri Sukarno memutuskan untuk memindahkan jenazah Soekarno ke Wisma Yasso. Sukarno pernah berpesan kelak apabila wafat, jenazahnya ingin dimakamkan di daerah Periangan, tepatnya di bawah pohon rindang dengan gemercik air mengalir di bawahnya. Kemungkinan tempat yang dimaksud Sukarno adalah Istana Batu Tulis, Bogor.
Namun, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) No. 44 1970, Pemerintahan Soeharto memutuskan Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai lokasi pemakaman Sukarno. Pemilihan Blitar sebagai tempat peristirahatan Sukarno oleh Pemerintah Orde Baru dengan alasan bersebelahan dengan makam Ibunda Sukarno.
Perdebatan mengenai pemilihan lokasi pemakaman Sukarno menjadi isu yang terus bergulir hingga saat ini. Pasalnya, Sukarno yang merupakan salah satu pahlawan Indonesia justru dimakamkan di Blitar, Jawa Timur, bukan di taman makam Pahlawan Kalibata. Pemilihan lokasi yang jauh dari ibukota negara oleh Presiden Soeharto menimbulkan asumsi tersendiri, sebagai alasan politis.
NAOMY A. NUGRAHENI
Baca: Megawati: Dulu keluarga Tak Setuju Makam Bung Karno di Blitar