TEMPO.CO, Jakarta - Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M. Jasin meluruskan istilah Taliban yang menyerang sejumlah pegawai komisi antirasuah. Menurut dia, awalnya julukan itu diberikan kepada mereka yang tidak bisa disogok.
“Istilah taliban itu karena dia (pegawai) tidak bisa diotak-atik, tidak bisa dipengaruhi dari luar, dikasih makan pun di restoran dia tidak mau,” kata Jasin di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat, 18 Juni 2021.
Jasin mengatakan istilah taliban itu bukan muncul dari internal KPK. Dia mengatakan semasa menjabat Wakil Ketua KPK 2007 sampai 2011 tidak ada penggunaan istilah taliban. Julukan itu, kata dia, justru pertama kali didengarnya saat menyambangi salah satu kantor satu kantor Bea dan Cukai pada 2008.
Di kantor itu, kata dia, julukan taliban diberikan kepada para pegawai yang tidak bisa disogok. Dia bilang saat itu ada tujuh pegawai Bea Cukai yang diberi predikat taliban karena tidak pernah menerima suap. “Yang jujur itu disebut taliban oleh teman-temannya, dianggap sok bersih, sok suci,” ujar Jasin.
Jasin mengatakan istilah itu kemudian digunakan untuk menyerang para pegawai KPK berintegritas pada 2019. Ketika isu revisi UU KPK memanas, kata dia, istilah taliban disematkan kepada para pegawai KPK yang bersih. Namun, kata dia, makna taliban digeser dari isu integritas menjadi isu fanatisme beragama. “Stigma itu datang dari luar,” ujarnya.
Jasin menjamin tak ada fanatisme beragama di tubuh KPK. Menurut dia, kerukunan beragama di KPK sangat terjaga.
Jasin mengatakan isu mengenai taliban ini sudah dijelaskannya kepada komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komnas HAM memeriksa Jasin dan tiga mantan pimpinan lainnya. Komnas HAM meminta keterangan para mantan komisioner itu untuk melengkapi data aduan pegawai KPK yang tidak lolos TWK.
Baca juga: Neta S Pane, Pengamat Kepolisian yang Populerkan Istilah Taliban di KPK