TEMPO.CO, Jakarta - Arum Ratnawati masih ingat beratnya beban mengurus rumah dan anak pada 1993 lalu. Pekerjaan di kantornya membuat membuat ia akhirnya memutuskan pertama kali menggunakan jasa pekerja rumah tangga (PRT). Arum akhirnya menggunakan jasa PRT hingga 23 tahun setelahnya.
Sebagai pemberi kerja, Arum mengatakan awalnya ia pun tak banyak menyadari hak dan kewajiban para PRT. Apalagi, saat itu info PRT yang bekerja pada dia, didapatkan dari salah satu kerabatnya.
"Waktu itu saya hanya tahu memberikan libur di hari Minggu saja. Belum tahu soal kewajiban kita bayar THR atau kasih cuti," kata perempuan berusia 58 tahun itu, kepada Tempo, Senin, 14 Juni 2021.
Seiring berjalannya waktu, kesadaran Arum terhadap status PRT sebagai pekerja mulai tumbuh. Hal ini tak terlepas dari lingkungan kerjanya. Pada 2007, Arum menjadi manajer program pekerja anak di International Labour Organization (ILO). Di ILO, Arum banyak berdiskusi tentang isu gender hingga kesetaraan hak pekerja.
"Akhirnya pas 2010 saya mulai membuat kontrak tertulis dengan PRT saya. Untuk memastikan dia ada jaminan apa saja hak dan kewajibannya," kata Arum.
Dengan adanya kontrak tertulis, Arum mengatakan sistem pengupahannya menjadi lebih jelas dan baik. Setiap gajian, PRT yang bekerja bagi Arum diberi slip gaji. Di dalamnya, tertera gaji plus uang lembur yang mereka terima. Arum menyebut PRT di rumahnya bekerja selama 7 jam per hari. Jika waktu kerjanya melewati batas, maka akan dihitung lembur.
Kontrak tertulis ini juga mengatur soal cuti. Umumnya, aturan cuti bagi PRT ini tak pernah jelas dan hanya didasarkan pada kesepakatan PRT dengan majikannya. Arum mengatakan jika sudah komitmen memberi cuti, majikan seharusnya menghormati pilihan mereka ketika pada akhirnya mengambil cuti tersebut.
"Kita juga harus menghormati hak PRT kalau mau cuti. Mereka kan gak ada bedanya dengan kita yang bekerja kantoran. Mereka harus diperlakukan seperti pekerja," kata Arum.
Mengubah pola pikir di tataran pemberi kerja inilah yang menurut Arum jadi masalah utama. Kebanyakan majikan tidak sadar atau tak mau tahu tentang pentingnya memahami hak dan kewajiban PRT maupun mereka sendiri sebagai pemberi kerja.
"Mindset-nya ini yang memang harus diubah," kata Arum.
Arum mengakui kesadaran semacam ini harus muncul dari diri sendiri. Bahkan PRT di rumahnya pun sebenarnya tidak sadar bahwa haknya sebagai pekerja sangat rentan terdiskriminasi.
Kesadaran akan hak PRT sebagai pekerja ini tak banyak ditemui di pemberi kerja. Padahal PRT ia sebut memiliki peran signifikan dalam kehidupan berumah tangga. Arum pun berharap ke depan, payung hukum yang menaungi persoalan PRT ini bisa segera ada.
Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini, mengatakan hal ini sebenarnya sudah masuk dalam lingkup Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT). RUU ini, kata dia, akan dapat memberi payung hukum dan perlindungan. Baik bagi PRT maupun bagi para pemberi kerja sendiri.
"RUU ini ditekankan untuk melindungi PRT dan juga melindungi pemberi kerja. RUU ini saling menghargai, saling menghormati, jangan merendahkan PRT, juga bagaimana RUU ini mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak," kata Lita.