TEMPO.CO, Jakarta - Setelah 17 tahun berproses di Dewan Perwakilan Rakyat, nasib Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) tak kunjung disahkan. Penundaan demi penundaan terus dilakukan meski RUU PRT ini telah masuk Prolegnas.
Menggantungnya nasib RUU ini, dinilai tak terlepas dari masih adanya sesat pikir di antara para legislator. Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, mengatakan salah satunya adalah anggapan bahwa RUU PPRT ini hanya akan mempersulit pemberi kerja mencari PRT.
"Selama ini PRT selalu dianggap sebagai bagian dari keluarga, bagian dari saudara. Jadi anggapan mereka adalah kebijakan akan meminimalisir semangat solidaritas dan gotong royong sebagai warga Indonesia," kata Theresia kepada Tempo, Kamis, 10 Juni 2021.
Dalam draf RUU yang didapat Tempo, urusan perjanjian kerja memang menjadi poin utama. Hal ini tertuang dalam Pasal 8, yang melingkupi waktu kerja, upah, hingga hak dan kewajiban PRT. Namun Theresia mengatakan aturan ini justru dimaknai anggota legislatif hanya akan mempersulit pemberi kerja dalam membuat kontrak.
Sesat pikir lainnya, adalah masih adanya sejumlah anggota DPR yang beranggapan ada sanksi pidana yang diatur dalam RUU ini. Padahal, Theresia menegaskan sebenarnya RUU PPRT ini tak mengatur sama sekali urusan kekerasan atau penganiayaan terhadap PRT, karena hal itu masuk ke dalam ranah KUHP, kalau terjadi penganiayaan atau kekerasan terhadap PRT.
Selain itu, Theresia juga menyebut jumlah PRT di Indonesia masih kerap dianggap tidak signifikan. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) pada 2015, jumlah PRT di Indonesia itu mencapai 4,2 juta orang dan diperkirakan terus tumbuh. Jumlah ini, kata Theresia, kerap dianggap terlalu representatif dengan jumlah total warga Indonesia.
"Tampaknya sesat pikir ini terus melanda kepala dari pemberi kerja dan juga parlemen yang juga merupakan pemberi kerja. Bahkan mereka bisa memiliki PRT lebih dari 2. Mereka menggunakan cara pandang pemberi kerja dalam posisi sebagai anggota parlemen," kata Theresia.
Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraeni juga mengamini hal ini. Ia mengatakan rata-rata anggota parlemen memakai 5 hingga 7 PRT di rumahnya. Karena itu, pandangan mereka menjadi subjektif dan tidak berpihak pada yang membutuhkan.
"Mereka merasa kepentingannya sebagai majikan juga terancam," kata Lita.
Wakil Ketua Baleg DPR, Willy Aditya, juga mengakui masih adanya sesat pikir ini di tingkat DPR. Sebenarnya, tujuh fraksi di DPR sendiri telah sepakat akan RUU ini. Namun diketahui dua fraksi lain yang masih belum mau memastikan sikap terhadap RUU ini adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar.
"Kita jelaskan RUU Perlindungan PRT ini undang-undang yang sosio kultural. Kalau lihat azasnya itu kesepakatan kedua belah pihak yang berdasarkan kemanusiaan. Jadi tak ada (aturan) yang menakutkan," kata Willy.