TEMPO.CO, Jakarta - Akademikus Fakultas Hukum dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai seharusnya hukuman yang dijatuhkan kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam putusan tingkat banding lebih berat karena status dia sebagai aparat penegak hukum. "Hakim tidak menilai Pinangki sebagai aparat penegak hukum. Kalau aparat penegak hukum melakukan pidana, itu selalu diperberat karena ketentuan KUHP," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 15 Juni 2021.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Unand tersebut melihat ada kejanggalan dari putusan hakim yang tidak memperberat hukuman, melainkan malah meringankan Pinangki dengan mempertimbangkan status perempuan. Menurut Feri alasan-alasan yang disampaikan hakim tersebut seolah-olah hanya dicari-cari untuk memotong hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun.
Adanya pertimbangan hakim soal status Pinangki Sirna Malasari sebagai seorang ibu yang memiliki anak berusia empat tahun dinilai Feri juga tidak linier dengan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Ia khawatir jika alasan status seorang ibu dijadikan pertimbangan, maka berpotensi memuluskan kejahatan-kejahatan korupsi di kemudian hari.
Sehingga, menurut Feri, yang perlu dilihat dari kasus Pinangki ialah kekuatan atau kewenangan yang dimilikinya yakni sebagai seorang jaksa dan tidak semata-mata hanya karena status perempuan dan seorang ibu. "Karena itu (alasan sebagai seorang ibu dari balita) akan menyampingkan nilai penting atau substansial dari perkara ini," ujarnya.
Menurut Feri dari berbagai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia ada semacam tren pengadilan menjadi jalan pintas untuk mengurangi masa hukuman koruptor. Sehingga ada semacam nuansa peradilan tidak lagi berpihak kepada pemberantasan korupsi dan membenahi aparat hukum yang menyimpang, termasuk jaksa Pinangki.
Baca Juga: Hukuman Jaksa Pinangki Dipotong Jadi 4 Tahun, Ini Respon Kejaksaan