TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum atau Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Taufik Basari, meminta pemerintah berhati-hati dan cermat dalam memuat kembali norma pemidanaan penghinaan presiden dan wakil presiden di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
"Ada beberapa pertimbangan yang mesti dikaji secara mendalam ketika pemerintah tetap ingin memasukkan beleid tersebut," kata politikus NasDem ketika dihubungi, Rabu malam, 9 Juni 2021.
Pertama, kata Taufik, norma pidana penghinaan presiden dan wakil presiden itu secara sejarah digunakan kepentingan kolonial sebelum Indonesia merdeka. Pascakemerdekaan pasal ini tetap diberlakukan dengan menerjemahkan konning atau raja menjadi presiden dan wakil presiden.
Dalam penerapannya, kata Taufik, pasal penghinaan presiden seringkali digunakan untuk para pengkritik pemerintah. Taufik mencontohkan beberapa di antaranya kasus Sri Bintang Pamungkas dan Aberson Sihaloh.
Di masa Reformasi, lanjutnya, beberapa aktivis juga harus terkena pasal ini, seperti kasus Muzamir dan Nanang, keduanya aktivis Gerakan Pemuda Kerakyatan; M. Iqbal, aktivis Gerakan Pemuda Islam; dan Supratman, Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka. Mereka dipidana karena kritik terhadap kebijakan pemerintah menaikkan BBM.
Taufik mengatakan KUHP baru mestinya lebih baik ketimbang KUHP lama, termasuk dalam memberikan jaminan perlindungan terhadap warga negara dari tindakan sewenang-wenang dan jaminan atas keberlangsungan nilai-nilai demokrasi.
Apalagi, ia melanjutkan, Mahkamah Konstitusi telah mengingatkan hal tersebut dengan membatalkan Pasal 134 KUHP mengenai pemidanaan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Kendati pemerintah menyatakan pasal baru di RKUHP berbeda dengan pasal sebelumnya, Taufik mengatakan semangat progresivitas harus tetap dipertimbangkan. Ia tak menampik pentingnya ada aturan untuk menjaga marwah dan martabat presiden dan wakil presiden.
"Namun tidak melulu bentuknya harus berupa pemidanaan, mesti disediakan alternatif lain selain menjadikan pemidanaan seolah menjadi jalan keluar dari berbagai persoalan," ucapnya.
Taufik pun menyarankan pemerintah mendiskusikan secara mendalam usulan norma ini dengan berbagai kalangan. Mulai dari akademisi, praktisi hukum, pemerhati HAM, dan kalangan masyarakat sipil.
"Untuk mencari rumusan jalan tengah antara keinginan untuk menjaga marwah pemimpin bangsa dengan upaya menjaga negara hukum yang demokratis melalui pembaharuan hukum pidana di Indonesia," ujar politukus NasDem ini.