TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum atau Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Arsul Sani menilai pasal penghinaan presiden perlu tetap ada dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Arsul mengatakan ketentuan ini juga tak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi lantaran diubah menjadi delik aduan.
Namun, Arsul mengusulkan pasal ini diperjelas dengan pengecualian. Misalnya, kata dia, orang yang membela diri atau mengkritik kebijakan tak bisa dikenai pasal ini.
"PPP masih ingin agar apa yang dimaksud penghinaan atau penistaan diberikan penjelasan," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 9 Juni 2021.
Arsul mengatakan sebagian kelompok masyarakat sipil memang menginginkan pasal ini dihapus lantaran dinilai antidemokrasi. Namun ia mencontohkan, pasal ini pun eksis di banyak negara, misalnya Denmark, Islandia, Italia, Jerman, dan Belanda.
"Yang berubah hanya di Perancis, itu tidak lagi dianggap sebagai proses pidana tapi perdata. Belanda aja masih punya pasal penghinaan atau insulting terhadap ratu atau raja," ujar Arsul.
Hal senada disampaikan anggota Komisi Hukum DPR Benny Kabur Harman. Politikus Demokrat itu mengatakan perlu ada penjelasan ihwal maksud penghinaan terhadap presiden. Menurut Benny, definisi penghinaan ini mesti jelas agar tak diterjemahkan suka-suka oleh penegak hukum.
"Dulu saya tanya definisi penghinaan saja sampai saat ini tidak jelas. Akibatnya suka-suka, kalau penguasa tidak suka, apalagi polisi kayak zaman sekarang menjadi alat," kata Benny.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan Indonesia akan menjadi sangat liberal jika penghinaan terhadap presiden dibiarkan. Itu sebabnya, kata dia, pemerintah tetap menyertakan pasal penghinaan presiden di dalam RKUHP.
"Enggak bisa kalau kebebasan sebebas-bebasnya, itu bukan kebebasan, itu anarki," kata Yasonna dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, Rabu, 9 Juni 2021.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | DEWI NURITA
Baca: Wamenkumham: Kritik Pemerintah Tak Bisa Dijatuhi Pidana Penghinaan Presiden